Thursday, March 12, 2009

Sektor Riil dan Penurunan Suku Bunga Kredit?

Oleh: Achmad Deni Daruri
Sumber: Jurnal Nasional, 12 Maret 2009

Perekonomian Indonesia akan memasuki periode pertumbuhan rendah pada tahun 2009 ini dengan proyeksi pertumbuhan baseline sebesar 1,5 persen. Dengan pertumbuhan yang rendah seperti ini maka akan sulit bagi dunia usaha untuk membangun pertumbuhan pembentukan modal tetap domestik bruto yang mampu menunjang pertumbuhan jangka panjang yang sehat. Artinya, sekalipun pertumbuhan konsumsi swasta juga tertekan maka pola pembangunan ekonomi Indonesia justru akan semakin terjerat oleh pertumbuhan ekonomi berbasis konsumsi.

Sejarah pembangunan ekonomi dunia memperlihatkan bahwa negara-negara yang memiliki pertumbuhan ekonomi tinggi yang konsisten dalam jangka panjang ternyata mendapatkan dukungan dari pertumbuhan pembentukan modal tetap domestik bruto yang melebihi pertumbuhan konsumsi swasta. Sehingga dapat dikatakan bahwa rencana pemerintah untuk mengandalkan pertumbuhan ekonomi swasta dalam menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia di tengah krisis global kali ini bukan saja merupakan langkah hara kiri bagi terciptanya pertumbuhan ekonomi jangka panjang yang berkelanjutan tetapi juga tidak akan efektif dalam menopang pertumbuhan ekonomi berbasis produktivitas.

Tidaklah mengherankan jika pemerintah berharap agar dengan turunnya BI rate maka tingkat suku bunga kredit juga mengalami penurunan. Konsekuensi logisnya, pemerintah beranggapan bahwa penurunan suku bunga kredit merupakan kunci untuk mengatasi krisis ekonomi global seiring dengan meningkatkan upaya konsumsi swasta nasional. Di sinilah langkah ini keliru! Kekeliruan pertama adalah mengharapkan suku bunga kredit untuk turun seiring dengan turunnya BI rate. Kekeliruan kedua adalah mengharapkan konsumsi swasta sebagai solusi mengatasi krisis ekonomi.

Suku bunga kredit tidak akan turun mengikuti BI rate karena BI rate bukanlah prime mover dari cost of capital di Indonesia. Pada saat kondisi crowding out effect sudah tercipta maka penurunan BI rate justru mematikan pertumbuhan pembentukan modal tetap bruto di dalam negeri karena dana publik justru tersedot oleh instrumen fiskal sementara defisit financing terbatas di bawah tiga persen. Ini memperlihatkan bahwa pemerintah gagal meningkatkan efektifitas anggaran dengan melakukan penghematan terhadap semua pengeluaran rutin termasuk pembayaran utang dalam dan luar negeri.

Pertumbuhan pembentukan modal domestik bruto hanya dapat dipulihkan oleh strategi fiskal yang efektif dengan memangkas pengeluaran yang bersifat rutin dan mengalihkannya menjadi subsidi bunga bagi sektor pertanian dan industri. Perlu diingat bahwa krisis ekonomi ini berpotensi terjadi hingga tiga tahun ke depan, sehingga langkah-langkah pengamanan bagi sektor riil harus dilakukan dengan tindakan extraordinary.

Pertanian merupakan sektor yang menampung tenaga kerja yang terbesar di Indonesia, karenanya subsidi fiskal terhadap bunga kredit bagi sektor ini merupakan keharusan mutlak. Setelah langkah itu dilakukan maka Bank Indonesia juga harus membeli surat utang sebanyak mungkin dari swasta sehingga efek crowding out dapat tereleminasi. Jika langkah tersebut tidak juga efektif maka Bank Indonesia seharusnya juga mulai aktif untuk membeli saham-saham perusahaan berbasis pertanian, pertambangan dan industri dalam rangka menekan saving investment gap yang mendukung produktifitas jangka panjang. Moral suasion dalam situasi krisis ekonomi akut tidak akan pernah efektif sehingga upaya pemerintah dan Bank Indonesia untuk meminta perbankan menurunkan tingkat suku bunga deposito juga tidak akan pernah efektif. Buktinya adalah kejadian krisis di Amerika Serikat saat ini dimana Treasury dan Fed secara aktif bukan saja menurunkan fed rate tetapi juga membeli aset dan saham-saham perusahaan yang strategis. Kesalahan mereka adalah dalam melakukan prioritas sektoral yang justru tidak mendukung sektor pertanian dan industri tetapi sektor jasa-jasa. Kasus di Jepang juga membuktikan hal yang sama dimana moral suasion juga tidak efektif sehingga dilakukan penurunan tingkat suku bunga bank sentral yang dramatis dan pembelian saham oleh pemerintah merupakan solusinya. Hanya seperti pada kasus Amerika Serikat saat ini, pemerintah Jepang hanya terpaku pada sektor jasa khususnya jasa keuangan. Dan terbukti perekonomian Jepang justru terperangkap pada liqudity trap hingga saat ini.

Jelas kita semua mengharap agar pemerintah tidak terjebak oleh kesalahan pemerintah Jepang. Namun demikian, penurunan BI rate yang terjadi sampai saat ini justru mengesankan BI tak paham dengan krisis yang terjadi saat ini. Lag time dari suku bunga bank sentral yang bukan merupakan prime mover adalah sangat panjang, apalagi saat perekonomian didera oleh krisis ekonomi yang akut sehingga penurunan BI rate yang tanggung justru tidak memberikan efek yang positif bagi perekonomian. Pada saat krisis ekonomi sudah terjadi maka keseimbangan di pasar keuangan termasuk pasar kredit mengalami perubahan dramatis sehingga tidaklah mengherankan jika pemberian kredit oleh perbankan juga mengalami penurunan saat perekonomian memasuki periode krisis.

Keseimbangan pasar kredit saat Jepang memasuki liquidity trap membuktikan bahwa pasar kredit perbankan di Jepang justru semakin mencapai kondisi yang paling efisien. Dalam kondisi pasar kredit perbankan yang sudah efisien maka upaya pemerintah untuk menurunkan tingkat suku bunga kredit justru akan merusak efisiensi di dalam perbankan itu sendiri. Jika langka ini terus dipaksakan maka pemerintah akan terjebak kembali ke situasi krisis ekonomi tahun 1998 yang lalu dimana pemerintah justru melakukan pembelian saham perbankan dan bukan sektor industri serta pertanian yang merupakan prime mover dari pertumbuhan ekonomi Indonesia yang bersifat berkelanjutan, akibat sektor perbankan mengalami kinerja yang terus memburuk. Ada baiknya pemerintah juga berani meningkatkan defisit APBN menjadi lebih besar dari tiga persen misalnya mencapai lima persen dari produk domestik bruto, tentunya jika semua persyaratan yang telah disebutkan di atas juga dijalankan. Jika langkah-langkah ini dilakukan maka target pertumbuhan ekonomi pemerintah sebesar 4,5 persen akan semakin realistis untuk tercapai pada tahun 2009 ini.

Penulis adalah President Director Center for Banking Crisis

1 comment: