Wednesday, March 4, 2009

Liberalisasi Pasar dan Kedaulatan Ekonomi Bangsa

Oleh: Prof Hendrawan Supratikno PhD
Sumber: Seputar Indonesia, 4 Maret 2009

DALAM hal semangat, apa yang setiap kali dihasilkan dari Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN pantas kita puji.

Hampir pada setiap akhir KTT, selalu disepakati usulan untuk mempercepat jadwal integrasi ekonomi kawasan. Tahun lalu kita mencatat, target terbentuknya Komunitas Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community) dipercepat dari 2020 menjadi 2015. Sekarang, liberalisasi perdagangan dan investasi pada sektor-sektor prioritas kembali disepakati untuk dipercepat.

Kesepakatan tersebut menarik karena dicetuskan di tengah kondisi krisis ekonomi global, sekaligus di tengah kekhawatiran akan bangkitnya sentimen proteksionisme dan nasionalisme ekonomi.Komitmen untuk mempercepat liberalisasi pasar dan modal (trade and capital liberalization) juga menarik, di tengah munculnya indikasi negara yang relatif aman dari hempasan krisis ekonomi, justru mereka yang selama ini sangat hati-hati dan selektif terhadap desakan deras liberalisasi.

Untuk sebagian kalangan,ambisi ASEAN memang sering dinilai berlebihan. Soalnya sederhana, perbedaan antarnegara di ASEAN begitu besar, sehingga kapasitas kelembagaan untuk mendukung proses standardisasi dan eksekusi kebijakan akan sangat bervariasi.

Selain itu, interaksi ekonomi antarnegara di kawasan ASEAN belum mempertontonkan efek komplementaritas (saling melengkapi) yang tinggi,sehingga liberalisasi pasar lebih banyak menciptakan rivalitas di antara sesama anggota. Bukan efisiensi kolektif untuk bersaing dengan negara-negara di luar kawasan.

Tentu saja, dalam kondisi yang demikian, distribusi manfaat dari liberalisasi pasar akan lebih menguntungkan negara yang ekonominya lebih maju. Sebagian negara khawatir, dalam pembagian tugas di dalam kawasan,negara besar seperti Indonesia hanya akan berperan sebagai pemasok bahan mentah dan tenaga kerja murah, sementara negara mungil Singapura akan berperan sebagai jangkar lalu lintas modal dan investasi.

Secara konseptual, persoalan liberalisasi sesungguhnya bukan persoalan lebih banyak atau lebih sedikit (more or less liberalization), melainkan persoalan liberalisasi dalam hal apa dengan dampak seperti apa (what kind of liberalization with what effect). Dengan demikian, liberalisasi seperti pedang bermata dua, karena pada dirinya memiliki dua kandungan, kandungan yang konstruktif dan kandungan yang destruktif.

Kandungan konstruktifnya sering dilebih-lebihkan, sementara kandungan destruktifnya sering disepelekan. Kandungan konstruktif liberalisasi, seperti tumbuhnya persaingan pasar yang sehat dan peningkatan efisiensi ekonomi, sangat bergantung pada penahapan (staging), pengurutan (sequencing), dan kecepatan (pacing) liberalisasi.

Negara yang sabar dan sistematis menggunakan logika ini dapat menarik manfaat maksimal dari liberalisasi.Mereka yang tergesa-gesa cenderung menjadi korban atau mangsa kekuatan ekonomi global. Liberalisasi pasar pada dasarnya merupakan upaya untuk memberlakukan mekanisme pasar lintas batas-batas geografis dan kedaulatan negara.

Pasar yang semakin luas lebih memungkinkan pemenuhan tuntutan minimal operasi produksi yang memenuhi skala ekonomi, sehingga akan melahirkan pemain-pemain pasar yang efisien. Selain itu, pasar yang lebih luas memungkinkan tumbuhnya ekologi industrial, termasuk industri pemasok dan penunjang, dengan spesialisasi yang berbeda-beda sekaligus bekerja saling melengkapi (cooperative specialization).

Dari sisi ketenagakerjaan, kekuatan liberalisasi juga akan mendorong kesamaan tingkat upah,sehingga negara dengan jumlah pekerja berlebih dengan ciri tingkat upah rendah akan ikut diuntungkan. Lalu lintas pekerja migran antarnegara akan mendorong peningkatan standar kompetensi, kinerja, produktivitas, dan tingkat gaji berbagai jenis profesi.

Yang harus kita perhitungkan konsekuensinya adalah kandungan destruktif dari liberalisasi atau globalisasi pasar dalam arti luas.Minimal ada tiga konsekuensi ekonomik yang harus kita antisipasi secara matang. Pertama, terjadinya fenomena ”global consumption, local income”.

Para pekerja yang bekerja dengan tingkat pendapatan lokal setengah dipaksa untuk mengonsumsi barang dan jasa terkenal yang bermerek. Tidaklah mengherankan bila rumah tangga konsumen kebingungan untuk memikirkan menu konsumsi yang terdiri atas produk seperti Coca Cola, Starbucks, boneka Barbie, motor Honda, telepon genggam Nokia, dan sejenisnya, sementara pendapatannya baru sebatas upah minimum kota (UMK).

Kedua, berlakunya ”the law of one price” (hukum satu harga).Sebagai contoh,harga bensin di negara kaya akan cenderung sama dengan di negara miskin, padahal perbedaan pendapatan di antara warganya jauh berbeda. Hal ini sering melahirkan ironi,warga Indonesia yang negaranya memiliki kekayaan tambang sering harus antre untuk membeli premium atau minyak tanah, sementara negara yang tidak memiliki tambang tidak pernah menghadapi masalah serupa.

Ketiga, terjadinya kecenderungan yang menang akan terus-terusan menang (the winner-take-all society)–– meminjam istilah Robert Frank dan Philip Cook (1995). Di sini, liberalisasi akan melahirkan masyarakat yang dikotomi, pemenang dan pecundang. Pada tingkat negara, kelompok pecundang mendapat proteksi melalui berbagai kebijakan negara, seperti politik perpajakan, pengupahan, dan aneka jenis sistem jaminan sosial nasional.

Namun bila dikotomi itu terjadi di tingkat kawasan, atau global, maka tidak ada lembaga yang efektif menjalankan peran redistributif yang sama. Dus, dengan segala hormat terhadap berbagai tekanan eksternal agar kita terus memacu laju liberalisasi, kita tidak boleh kehilangan akal sehat untuk tetap menempatkan kepentingan nasional sebagai agenda prioritas kita.(*)

Penulis adalah Guru Besar FE UKSW Salatiga. Pengajar Program Pascasarjana di sejumlah universitas ternama

No comments:

Post a Comment