Thursday, January 29, 2009

Stimulus Sosial

Oleh: Razali Ritonga
Sumber: Kompas, 29 Januari 2009

Krisis finansial global berpotensi memicu krisis multidimensi; ekonomi, sosial, dan politik.

Krisis finansial dapat menyebabkan stagflasi ekonomi, kualitas hidup buruk (sosial), dan kendurnya kehidupan berbangsa (politik). Kini pemerintah berusaha mengatasi dampak krisis global dengan sejumlah stimulus ekonomi. Bahkan, untuk mengatasi parahnya kondisi ekonomi, diperlukan stimulus sosial daripada stimulus ekonomi. Alasannya, krisis ekonomi melemahkan daya tahan hidup, antara lain disebabkan berkurangnya konsumsi pangan akibat daya beli rendah, berlanjut dengan kekurangan gizi.

Lemahnya daya tahan hidup berpotensi menurunkan partisipasi pemulihan ekonomi. Bahkan, bisa terjadi krisis ekonomi akan berlanjut karena pemulihan ekonomi terdistorsi untuk mengatasi dampak kekurangan gizi.

Pola konsumsi berubah

Memburuknya ekonomi menyebabkan daya beli melemah, yang pada gilirannya pola konsumsi masyarakat berubah. Diperkirakan, proporsi pengeluaran untuk pangan kian besar, diikuti mengecilnya proporsi pengeluaran nonpangan.

Membesarnya pengeluaran pangan guna mengimbangi kenaikan harga tidak berarti kuantitas dan kualitas pangan yang dikonsumsi meningkat. Bahkan, dalam kasus ekstrem, pangan yang dikonsumsi kian tidak layak, seperti nasi basi atau nasi aking.

Secara umum, turunnya daya beli menggeser konsumsi pangan dari protein ke kalori. Pergeseran itu kian parah seiring dengan turunnya daya beli. Terkonsentrasinya konsumsi pangan pada kalori membuat pemenuhan protein, vitamin, dan nutrisi yang diperlukan tubuh berkurang.

Terjadinya gizi buruk bukan karena kurangnya pangan secara kuantitas, tetapi karena pangan yang dikonsumsi tidak memenuhi zat gizi. Seorang anak penderita kekurangan vitamin A, misalnya, akan tampak sehat dan tidak mengeluh lapar, tetapi daya tahan tubuhnya kian melemah (WHO, The State of the World’s Children, 2008).

Fakta itu mengisyaratkan, untuk memenuhi tujuan pertama (Goal 1) pembangunan milenium atau MDGs, penurunan tingkat kelaparan penduduk tidak hanya cukup memenuhi aspek kuantitas, tetapi juga kualitas pangan yang dikonsumsi (WHO, 2008).

Layanan kesehatan rendah

Kekurangan gizi berlarut-larut menyebabkan kematian, khususnya anak balita. Semakin muda usia bayi, kian berisiko terhadap kematian. Hal ini terdeteksi dari pertambahan angka kematian yang tidak proporsional dengan pertambahan usia anak.

Hasil SDKI 2007 menunjukkan, angka kematian bayi usia satu bulan (neonatum) sebesar 19 per 1.000 kelahiran hidup, angka kematian bayi usia kurang dari satu tahun sebesar 34 per 1.000 kelahiran hidup, dan angka kematian anak balita sebesar 44 per 1.000 kelahiran hidup (BPS, Depkes, BKKBN, dan DHS, 2008).

WHO (2008) mencatat, pneumonia menjadi penyebab utama tingginya angka kematian neonatum, bayi, dan anak di negara- negara berkembang. Umumnya, pneumonia disebabkan gizi buruk. Celakanya, lebih dari 30 persen anak-anak di negara berkembang tidak mengonsumsi garam beryodium, 28 persen kekurangan vitamin A, 60 persen tidak mendapat ASI eksklusif.

Peran ibu hamil amat penting agar anak tidak kekurangan gizi. Celakanya, layanan kesehatan bagi ibu hamil di Tanah Air belum optimal. Tercatat, 93 persen dari jumlah ibu hamil memeriksakan kehamilan, 73 persen menerima suntikan antitetanus, 77 persen mendapat pil zat besi, dan 46 persen melahirkan di fasilitas kesehatan (BPS, Depkes, BKKBN, dan DHS, 2008).

Lima penyebab

Bank Dunia (2006) melaporkan, ada lima penyebab rendahnya cakupan layanan kesehatan, khususnya bagi ibu hamil kelompok miskin. Pertama, kurangnya kemampuan ekonomi untuk mengakses fasilitas kesehatan. Kedua, rendahnya tingkat pendidikan dan pengetahuan ibu hamil. Ketiga, bias jender dalam pengambilan keputusan untuk mendapat layanan kesehatan. Keempat, kurangnya fasilitas kesehatan, khususnya di pedalaman, terisolasi, dan terpencil (remote areas). Kelima, terkait faktor nonteknis, seperti kurangnya perhatian petugas kesehatan terhadap kelompok miskin.

Rendahnya aksesibilitas penduduk miskin pada layanan kesehatan menyebabkan anggaran kesehatan bias ke penduduk kaya. Hasil studi Bank Dunia (2004) di 21 negara mengungkapkan, 20 persen penduduk terkaya menerima 25 persen total anggaran kesehatan, sedangkan 20 persen penduduk termiskin hanya menerima 15 persen. Maka, tak heran bila derajat kesehatan kelompok kaya dan miskin menjadi timpang. Tingkat kematian anak balita kelompok termiskin, misalnya, dua kali lebih besar daripada kelompok terkaya (Bank Dunia, 2003).

Kehadiran stimulus sosial kian mendesak terkait dengan rendahnya anggaran kesejahteraan sosial. Alokasi anggaran kesehatan yang ditetapkan pemerintah sebesar 2,8 persen dari APBN, sedangkan standar WHO 15 persen (Kompas, 6/1/2009).

Penulis adalah Kepala BPS Provinsi Sulawesi Tengah

No comments:

Post a Comment