Tuesday, January 27, 2009

Di Seputar Stimulus Fiskal

Oleh: M Fadhil Hasan
Sumber: Seputar Indonesia, 27 Januari 2009

Ketika rumah tangga dan dunia usaha melihat ketidakpastian ekonomi akibat resesi, pemerintah harus mengambil peranan yang lebih nyata lagi, bukan hanya mengatur perekonomian, tapi langsung terjun melakukan intervensi ke dalam perekonomian melalui stimulus fiskal.

Adalah ekonom terbesar setelah Adam Smith,yaitu John Keynes, yang menyerukan hal tersebut. Hari-hari ini ketika beberapa negara maju mulai mengalami resesi ekonomi, stimulus fiskal kembali menjadi mantra para pengambil kebijakan ekonomi di hampir semua negara. Tujuannya jelas, dengan stimulus fiskal, pemerintah diharapkan dapat menerobos kebuntuan dengan meningkatkan permintaan melalui peningkatan belanja rumah tangga dan dunia usaha.

Semua sepakat dengan konsep tersebut. Memang pada krisis Asia tahun 1997/1998,justru IMF memberikan resep pemulihan ekonomi yang bertolak belakang dengan yang kini dilakukan oleh berbagai negara. Karena itulah krisis Asia 1997/1998, terutama di Indonesia, berjalan lebih lama dan pemulihannya sangat lambat karena resep yang digunakan ternyata salah belaka. Namun pertanyaan yang sering dilupakan oleh para pengambil kebijakan adalah bagaimana merumuskan secara efektif dan efisien stimulus fiskal tersebut.

Sebagaimana dinyatakan Keynes, selain terdapat cara yang sehat untuk menjalankan stimulus tersebut, terdapat pula cara yang kurang sehat––walau juga dikemukakan bahwa memberikan stimulus jauh lebih masuk akal dibandingkan dengan tidak melakukan apa-apa.

***
Sudah barang tentu diharapkan stimulus fiskal yang dijalankan berjalan dengan efektif dan efisien. Sebab, jika tidak, ini merupakan penghamburan uang negara yang sia-sia, yang pada akhirnya rakyat juga yang harus menanggung bebannya. Selain itu, stimulus juga bukan sesuatu yang gratis.

Ada pengorbanan yang harus ditanggung oleh ekonomi. Sebab, stimulus fiskal sebenarnya merupakan realokasi sumber daya dari masa depan ke masa sekarang. Karenanya harus dipastikan bahwa penggunaan pada masa sekarang harus lebih baik dan produktif sehingga beban di masa mendatang akan lebih kecil. Atau, dengan kata lain penggunaan yang dipilih sekarang lebih produktif dibandingkan penggunaan yang ditinggalkan. Karenanya, pemilihan kebijakan dan program stimulus fiskal ini akan sangat menentukan efektivitas dan efisiensinya.

Debat tentang bagaimana menjalankan stimulus fiskal ini bukan hanya terjadi di sini, melainkan juga di berbagai negara, termasuk Amerika Serikat (AS). Sebagaimana diketahui, pemerintahan Barack Obama kini akan menjalankan program stimulus fiskal melalui program yang disebut American Recovery and Reinvestment Plan (ARRP) bernilai USD 1 triliun. Stimulus sebesar itu diharapkan akan dapat menciptakan kesempatan kerja sebanyak 3,675 juta orang sampai akhir 2010.

Debat yang kini terjadi bukan hanya pada tataran besarnya rencana tersebut yang merupakan stimulus terbesar yang pernah dijalankan, tapi juga untuk program apa saja stimulus tersebut digunakan. Sampai saat ini Presiden Obama belum memberikan rencana detail stimulus tersebut. Padahal semua sepakat bahwa the devil is on the details. Karena itu, Kongres pun belum tentu sepakat dengan rencana tersebut. Dalam kasus AS, untungnya adalah tersedia berbagai hasil kajian tentang efektivitas dari berbagai pilihan program stimulus fiskal tersebut.

Misalnya diketahui apakah lebih efektif memperbaiki atau membangun baru dalam kaitan dengan infrastruktur. Ternyata perbaikan infrastruktur lebih efektif dengan pembangunan baru, di samping lebih banyak dapat menyerap tenaga kerja sebesar 9% dibandingkan dengan pembangunan infrastruktur yang baru. Dengan adanya hasil-hasil kajian ilmiah ini akan lebih mudah tentunya untuk memilih dan menjalankan program stimulus fiskal yang efektif dan efisien.

Pemerintah Indonesia kini tengah mempersiapkan stimulus fiskal serupa dengan yang dilakukan di negara-negara lain. Dalam anggaran yang telah disetujui DPR, stimulus sebesar Rp12,5 triliun akan diluncurkan pada 2009. Namun rencana ini kemudian mengalami perubahan. Kini pemerintah merencanakan akan menambah stimulus tersebut menjadi Rp27,5 triliun yang diambil dari dana Sisa Lebih Penggunaan Anggaran (SILPA) APBN Perubahan 2008.

Sementara itu, pihak DPR mengusulkan tambahan stimulus sebesar Rp38 triliun yang diambil dari SILPA sehingga total stimulus menjadi Rp50,5 triliun.

***
Kini rencana tersebut sedang dibahas pemerintah dan Panitia Anggaran DPR RI melalui APBN Perubahan 2009. Namun sebenarnya yang jauh lebih penting adalah merumuskan kebijakan dan program stimulus serta sasaran terukur yang ingin dicapai dari program stimulus tersebut. Apalagi kita belum banyak memiliki pengalaman dalam menjalankan program stimulus dalam skala besar.

Terlebih lagi—tidak seperti di AS misalnya—, belum banyak kajian yang melihat efektivitas dan efisiensi dari berbagai program stimulus ini. Boleh jadi kemudian program stimulus ini tidak didasarkan pada kebutuhan dan prioritas yang seharusnya melainkan pada selera para pengambil kebijakan. Karenanya penting sebelum menentukan berbagai program stimulus tersebut pemerintah berbicara dengan stakeholder (kalangan dunia usaha,l embaga penelitian/perguruan tinggi, dan NGO) untuk meminta masukan tentang prioritas program stimulus tersebut.

Dengan demikian program dijalankan dengan prinsip demand driven, bukan supply driven. Namun terdapat beberapa prinsip penting dalam menjalankan program stimulus tersebut. Pertama, prioritaskan pada investasi barang publik seperti infrastruktur, R&D di bidang pertanian, perbaikan dan pembangunan sarana serta prasarana yang mendukung aktivitas produksi dan distribusi, serta perluasan infrastruktur kelistrikan. Kedua, pemberian potongan pajak bagi dunia usaha harus benar-benar selektif dan didasarkan pada kriteria yang transparan.

Tidak dapat dimungkiri bahwa adanya insentif terhadap dunia usaha akan mengakibatkan para pelaku usaha yang tergabung dalam asosiasi melakukan lobi-lobi agar industrinya bisa memperoleh insentif tersebut. Tanpa ada kriteria yang jelas sangat mungkin insentif yang diberikan berakhir dengan sia-sia. Ketiga, stimulus harus diberikan kepada orang-orang yang rentan terhadap krisis seperti kelompok masyarakat miskin dan hampir miskin.

Selain memelihara tingkat kehidupan mereka agar tidak lebih terpuruk lagi, ternyata memberikan stimulus kepada kelompok masyarakat jauh lebih efektif dibandingkan dengan pemotongan pajak untuk kelompok menengah dan atas.

Hasil kajian menunjukkan bahwa memberikan uang kepada kelompok yang tidak bisa menabungkannya merupakan salah satu cara paling efektif untuk mendongkrak ekonomi. Sebab, kelompok ini pasti akan menggunakan uang yang diperolehnya untuk menopang kehidupan mereka, sedangkan kelompok menengah atas kemungkinan akan menabungkannya jika mereka memperoleh pemotongan pajak.

Pada akhirnya program stimulus merupakan proses yang serba tidak pasti. Tidak ada satu pun orang yang dapat memastikan apa yang terjadi dalam jangka pendek dan jangka panjang terhadap ekonomi. Demikian pula program stimulus selalu menghasilkan penikmat dan pecundang.

Tidak mungkin semua pihak menerima manfaat yang setara. Keraguan akan efektivitas program stimulus selalu ada. Karena, sebagaimana sering dikemukakan pemerintah, mungkin saja dapat membelanjakan anggaran secara cepat, tapi pemerintah belum dapat membuktikan bisa membelanjakannya secara bijak. Namun, melakukan sesuatu walau tidak pasti lebih baik ketimbang tidak melakukan apa-apa.(*)

Penulis adalah Ekonom Senior INDEF

No comments:

Post a Comment