Saturday, January 31, 2009

Perkembangan Biofuel di Indonesia: Dilema Asia

Oleh: Terry Lacey
Sumber: Jurnal Nasional, 31 Januari 2009
Masalah luas terkait perkembangan biofuel di Indonesia sejak 2005 adalah tidak konsistennya pemerintah pada kebijakan dan kerangka peraturan yang ada.

SEJAK tahun 2005, pemerintah Indonesia telah membuat perencanaan untuk mempromosikan bahan bakar nabati (biofuel). Hal ini sebenarnya lebih ditekankan pada biodiesel dibandingkan dengan bioetanol, untuk pembangkit tenaga listrik dibandingkan untuk kendaraan bermotor.

Peluang jangka panjang di Asia untuk biofuel juga termasuk biofuel untuk kendaraan bermotor dibanding untuk pembangkit tenaga listrik dan begitu juga bioetanol dibanding dengan biodiesel, akan sama seperti perkembangan di Brasil. Ketidakseimbangan ini mungkin akan terlihat lebih jelas ketika teknologi biofuel generasi kedua berjalan dalam proses.

Sejauh ini industri biofuel di Indonesia dan Malaysia bergantung pada minyak mentah kelapa sawit (CPO) untuk menghasilkan biodiesel. Ini mencerminkan bahwa kedua Negara tersebut menghasilkan 70% dari seluruh hasil CPO di dunia. Secara teori, sekitar 40 % hasil tersebut bisa dijadikan biofuel.

Dengan tingkat produksi Industri CPO seperti itu, bukan hal yang mengagetkan apabila Indonesia berencana akan menghasilkan 2,41 juta kiloliter biodiesel di tahun 2010, bersamaan dengan 1,48 juta kiloliter bioetanol, seperti yang diungkapkan oleh Imelda Maidir (The Jakarta Post, 19/1/09).

Indonesia telah menandatangani perjanjian investasi senilai US$12,4 miliar dengan 59 investor asing dan lokal untuk mendorong produksi CPO untuk biodiesel. Tetapi, sinyal-sinyal terhadap investor untuk tetap tertarik sedikit terganggu dengan adanya fluktuasi yang liar pada harga CPO yang menimbulkan masalah.

Pada Bulan Januari 2008, tingginya harga CPO menjadikan harga biodiesel menjadi teramat mahal. Pemimpin Asosiasi Penghasil Biofuel Purnadi Djojosudiro menjelaskan, hancurnya tingkat permintaanlah yang menyebabkan 17 perusahaan biofuel menunda investasinya. Deputi direktur marketing Pertamina Hanung Budia mengatakan, biodiesel memerlukan subsidi yang sama halnya dengan bahan bakar diesel.

Pada akhir tahun 2008, pasar modal dan harga minyak dan harga CPO turun, dengan rendahnya harga minyak menyebabkan CPO biodiesel dan bioetanol tidak dapat bersaing, dan akhirnya penghasil CPO kecil terpaksa keluar/terlempar dari pasar.

Awal ketergantungan pada CPO untuk biodiesel boleh jadi merupakan langkah yang tepat terhadap kondisi Indonesia atau bisa jadi suatu awal yang tidak tepat. Ketersediaan pangan yang lain telah terbukti lebih dapat bertahan.

Biofuel memang menarik karena bisa berkontribusi untuk pengamanan energi, pembangunan ekonomi dan pengurangan tingkat kemiskinan dan diharapkan bisa membantu untuk mengurangi efek gas rumah kaca dan polusi udara. Di negara-negara berkembang mendapat efek gas rumah kaca dan mengikuti naskah perjanjian Kyoto. Di negara-negara berkembang dapat mengurangi jumlah impor minyak.

Bagaimanapun juga percepatan pada biofuel bisa tanpa hasil jika tidak mempertimbangkan pada tingkat keberlangsungan produksinya (Lihat Kebijakan Perubahan Iklim di Asia -IGES -2006).

Laporan ini menyimpulkan ada kekhawatiran yang cukup besar bahwa biofuel dapat berdampak buruk pada ketahanan pangan (Graham-Harrison 2005), dapat mengurangi ketersediaan air (AFP 2007), polusi air yang lebih buruk (englehaupt 2007) atau secara nyata meningkatkan dampak gas efek rumah kaca (Searchinger 2008) dan juga berdampak negatif pada biodiversiti (Pearce 2005). Produksi biofuel bisa jadi memerlukan lebih banyak energi daripada energi yang dihasilkan (Lang 2005).

Masalah yang lebih luas lagi terkait perkembangan biofuel di Indonesia sejak 2005 adalah tidak konsistennya pemerintah terhadap kebijakan dan kerangka peraturan (termasuk dampak negatif dari subsidi pada bahan bakar fosil), ketidakpastian pada harga dan pasar-terutama pada krisis keuangan global dan fluktuasi pada harga komoditi baru-baru ini.

Persaingan antara pasar ekspor dan domestik dan masalah yang terkait pada harga dan kewajiban untuk persediaan domestik, menghadirkan isu yang serupa terhadap sumber energi lainnya di mana ekspor sedang berkompetisi dengan pasar domestik baru (seperti batubara dan gas).

Kemungkinan konflik-konflik terhadap penggunaan lahan dan penggunaan bahan pangan untuk menghasilkan biofuel, berpotensi untuk membuat lebih buruk permasalahan pada lingkungan dan kemungkinan untuk kehilangan hutan lindung, kehilangan keanekaragaman hayati dan penurunan dataran juga menjadi penyebab dan juga harus dicari penyelesaiannya.

Direktur Jenderal Minyak & Gas Dr Ing Evita Legowo, pada akhir 2007 menjelaskan, pemerintah diharapkan dapat menciptakan 3,5 juta lapangan pekerjaan dari pengembangan biofuel pada tahun 2010, yang akhirnya dapat meningkat menjadi 40 juta lapangan pekerjaan di daerah pedalaman. Biodiesel telah dijual di 200 SPBU di Jakarta. Lebih dari 24 pembangkit tenaga listrik sudah menggunakan biodiesel pada tahun 2007, tetapi untuk terus sebagai penyedia bahan bakar seringkali menjadi masalah.

Usaha untuk mempromosikan perkembangan dan keberlangsungan biofuel harus dilakukan dengan memperbaiki koordinasi dari penelitian yang berbasis pada pengembangan biofuel melalui kerja sama antara peneliti, sektor swasta, dan pemerintah tentunya.

Keberlangsungan biofuel di Asia sangatlah perlu untuk diperjelas sehingga proses yang berjalan mulai dari persediaaan pangan, produksi dan distribusi ke pasar dengan harga yang wajar, bisa direncanakan dan dipromosikan sebagai satu mata rantai, mengacu pada hubungan yang saling terkait seperti halnya informasi yang diberikan pada keuntungan dan kerugiannya.

Penulis adalah ekonom, berdomisili di Jakarta. Menulis tentang modernisasi dalam dunia Muslim, investasi dan hubungan perdagangan dengan Uni Eropa dan Islamic Banking.

No comments:

Post a Comment