Tuesday, January 27, 2009

Mengguritanya Perusahaan Multinasional

Liberalisasi memberi jalan eksploitasi yang menguntungkan MNCs

Oleh: Deden Hendrawan
Sumber: Bisnis Indonesia, 27 Januari 2009

Monopoli pasar dunia yang dilakukan oleh perusahaan multinasional (multinational corporations/MNCs) begitu menggurita. Lihat saja ketika hanya 10 MNCs menguasai 53% perdagangan farmasi dunia.

Sepertiga dari total US$23 miliar pasar benih komersial dikuasai oleh 10 MNCs. Sementara itu, 80% perdagangan dunia pestisida senilai US$27,8 miliar dikuasai oleh hanya 10 perusahaan.

Akumulasi penghisapan dapat terlihat dari kekayaan MNCs yang fantastik, bahkan bisa melebihi kekayaan suatu negara. Dari 50 entitas kaya di dunia, 14 di antaranya diduduki oleh MNCs. Kekayaan Wallmart di atas Swedia, Austria dan Norwegia. Sementara itu, Exxon mobil di atas Denmark.

Yang paling mencengangkan adalah ternyata perbandingan antara nilai penjualan MNCs dan PDB negara menghasilkan 52 dari 100 terbesar adalah korporasi dan negara hanya 48 lebihnya. Bahkan yang paling menakjubkan adalah jumlah uang yang dibelanjakan untuk pakaian dan barang rabat lainnya di Wal-Mart, pada 2003 adalah lebih besar daripada PDB 174 negara.

Walaupun berisiko terserang kanker, para perokok membantu Philip Morris menaikkan hasil penjualannya pada 2003, lebih tinggi dari 148 negara. Raksasa perangkat keras Home Depot berkembang dari 200 toko menjadi 1.500 selama dasawarsa yang baru, dengan hasil penjualan yang melampaui PDB 147 negara.

Kehidupan 2,8 miliar orang yang berada di 182 negara ini ternyata tak lepas pula dari kontrol dan hegemoni MNCs. Deregulasi, privatisasi dan liberalisasi memberi jalan eksploitasi terhadap sumber daya alam yang menguntungkan MNCs, sementara negara cukup puas dengan pajak dari aktivitas MNCs, tetapi menyisakan kerusakan lingkungan dan konflik sumber daya alam yang tidak berkesudahan, serta mencerabut sumber kehidupan masyarakat setempat.

Dalam konteks Indonesia sebut saja kasus Freeport, Newmont batu hijau, kebakaran hutan dan banjir karena illegal logging. Tingkat kerusakan hutan telah mencapai 2,4 juta per tahun dan hampir 70% terumbu karang dalam kondisi rusak.

Lapangan kerja yang tersedia hanya 1,3 juta tetapi jumlah pertambahan tenaga kerja mencapai 1,8 juta jiwa per tahunnya. Defisit 500.000 penganggur tersebut dan hilangnya basis hidup di desa mendorong lahirnya pekerja migran yang tidak semuanya terlindungi. Biasanya mereka mencari pekerjaan di kota, menjadi pekerja rumah tangga, buruh pabrik ataupun buruh kontrak lainnya. Sering mereka menempuh risiko untuk bekerja ke luar negeri. Angka pekerja migran semakin tinggi, tetapi perlindungan negara terhadap mereka belum memadai.

Wajah lain adalah kemiskinan perempuan. Kemiskinan struktural terutama di daerah perdesaan masih menjadi penyebab hancurnya penghidupan perempuan. Angka kematian ibu pada 2003 mencapai 470/ 100.000 kelahiran, angka tertinggi di Asia. Angka kematian karena praktik aborsi tidak aman mencapai 150.000 per tahun. 64,5% dari orang miskin di Indonesia pendidikannya tidak sampai SD atau bahkan sama sekali tidak sekolah, 44% di antaranya buta huruf yang mana 79,6% adalah perempuan.

Ikon kedigdayaan

Sementara itu, MNCs masih merupakan ikon kedigdayaan finansial global. Bahkan sering tak segan-segan memakai 'tekanan politik' langsung (selain lewat Bank Dunia, IMF dan WTO) untuk mempertahankan kedigdayaan itu. Hasil survei Transparansi Internasional (TI) memperlihatkan bahwa penanaman modal asing dari AS dan Organisasi Kerja sama Ekonomi (OECD) memperoleh keuntungan dari tekanan politik yang dilakukan mereka, yaitu 48,4 % untuk perusahaan AS dan 54,8% perusahaan OECD.

MNCs merupakan aktor dominan yang paling banyak mendapatkan 'anugerah' dan 'durian runtuh' melalui proyek globalisasi ala neoliberalisme ini.

Selama dua dasawarsa menjelang berakhirnya abad milenium, perusahaan multinasional berskala raksasa tersebut meningkat secara pesat dari sekitar 7000 MNCs pada 1970, dan dalam 1990 jumlah itu meningkat mencapai 37.000 MNCs.

Pada masa lalu mereka berhasil menguasai 67% dari perdagangan dunia antar-MNCs dan menguasai 34,1% total perdagangan dunia.

Pada perkembangannya, MNCs juga telah menguasai 75% dari total investasi global. Ada 100 MNCs dewasa ini menguasai ekonomi dunia. Mereka mampu mengontrol sampai 75% perdagangan dunia (Fakih, 2005).

Dalam kenyataannya, 200 MNCs teratas dunia sedang menciptakan 'apartheid ekonomi global', yaitu ketimpangan kesejahteraan dan akses terhadap sumber daya yang luar biasa besar.

Misalnya, delapan perusahaan telekomunikasi teratas dunia menikmati penjualan US$290 juta, sementara 90,1% dari semua orang di dunia hidup tanpa menikmati jaringan telepon. Demikian pula, 31 bank dalam korporasi teratas mempunyai aset gabungan sebesar US$10,4 triliun dan penjualan lebih dari 8 miliar dolar pada 1998.

Sementara itu, hampir 4,8 miliar penduduk dunia hidup di negara dengan produk nasional bruto per kapita kurang dari US$1.000 per tahun; hanya segelintir orang yang punya akses pada kredit dari bank transnasional.

Fungsi negara untuk memenuhi kebutuhan warganya semakin dilemahkan dengan menyerahkan hampir seluruh isu publik ke tangan swasta melalui mekanisme privatisasi. Globalisasi, kemiskinan dan HAM adalah tiga isu besar yang sangat terkait satu sama lainnya.

Globalisasi menambah angka kemiskinan, dan kemiskinan adalah ketika hak-hak warga negara tidak terpenuhi. Kemiskinan merupakan produk ketidakadilan dalam masyarakat dunia.

Penulis adalah Alumnus University of Illinois USA

No comments:

Post a Comment