Tuesday, January 27, 2009

Pemberdayaan Ekonomi dan Demokrasi Desa

Oleh: Prof. Dr. Dorodjatun Kuntjoro-Jakti
Sumber: Seputar Indonesia, 27 Januari 2009

Secara etimologis, kata “desa” berasal dari bahasa Sanskerta,yakni deca yang berarti tanah air, tanah asal, atau tanah kelahiran. Sementara dari sudut pandang geografis, desa (village) diartikan sebagai a group of houses and shops in a country area, smaller than a town.

Di Indonesia istilah “desa” pada awalnya hanya dikenal di Jawa, sedangkan di luar Jawa,sebutan untuk wilayah dengan pengertian serupa sangat beraneka ragam sesuai dengan asal mula terbentuknya wilayah tersebut. Sebutan itu antara lain diambil berdasarkan prinsip-prinsip ikatan genealogis, ikatan teritorial, atau tujuan fungsional tertentu (seperti: desa nelayan atau desa petani). Namun pada masa Orde Baru struktur pemerintahan desa diseragamkan melalui UU No 5 Tahun 1979.

Alasannya untuk stabilitas politik di dalam menunjang pembangunan nasional. Melalui UU tersebut desa diartikan sebagai konsep administratif yang berkedudukan di bawah kecamatan. Dengan mengartikan desa sebagai konsep administratif, kepala desa dan dewan desa (pada waktu itu adalah LMD dan LKMD) tidak bertanggung jawab langsung kepada warganya, melainkan kepada pemerintah di tingkat atasnya (supradesa). Keanggotaan dewan desa yang terdiri atas para elite desa membuat mereka cenderung dekat dengan kepala desa sehingga tidak bisa menyuarakan pandangan kritis terhadapnya.

Akibatnya, kekuasaan cenderung terpusat di tangan kepala desa dan membuat pemerintahan di tingkat desa lebih merupakan kepanjangan tangan dari birokrasi negara. Kondisi di atas menunjukkan bahwa sesungguhnya selama masa Orde Baru, meskipun kepala desa sudah dipilih langsung secara periodik, pemerintahan di tingkat desa itu ternyata belum demokratis.

Terlebih lagi pada proses pemilihan kepala desa (pilkades) yang juga sering diwarnai isu politik uang atau intrik politik. Hal ini didorong oleh terbatasnya anggaran penyelenggaraan pilkades. Keterbatasan anggaran ini membuat hanya para calon yang memiliki dana cukup yang mampu bersaing di dalam pilkades tersebut.

***
Sejak berakhirnya pemerintahan Orde Baru dan dimulainya era Reformasi di Indonesia, muncul harapan baru akan hidupnya iklim demokrasi di tingkat desa dengan terbitnya UU No 22 Tahun 1999. UU tersebut menghidupkan adanya parlemen desa, yakni badan perwakilan desa (BPD) yang diharapkan bisa berfungsi sebagai kontrol terhadap kepala desa. Namun harapan tersebut tidak bertahan lama.

Berlakunya UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang antara lain mencakup perubahan fungsi BPD dari badan perwakilan desa menjadi badan permusyawaratan desa membuat demokrasi di desa kembali tersumbat. Dengan itu, pemerintahan desa dikhawatirkan akan kembali menjadi sekedar kepanjangan tangan dari birokrasi pemerintah tingkat di atasnya.

Di daerah-daerah tertentu (seperti daerah tertinggal atau daerah terpencil), katup demokrasi di tingkat desa bukan saja masih tersumbat, tapi bahkan cenderung tertutup. Hal ini karena di daerah-daerah tersebut para pemimpin informal (seperti kepala suku atau kepala adat) relatif lebih berpengaruh di kalangan masyarakat desa dibandingkan dengan pemimpin formal (seperti kepala desa, RT dan RW). Padahal umumnya para pemimpin informal tersebut tidak dipilih melalui pemilihan langsung, melainkan berdasarkan keturunan (warisan).

Dengan kata lain, di samping relatif tidak demokratis, pola kehidupan masyarakat di daerah-daerah tersebut juga masih bersifat antropologis. Di daerah-daerah yang pola kehidupan masyarakatnya masih bersifat antropologis, sifat kelembagaan formalnya lebih tidak demokratis dibandingkan dengan di daerah-daerah lain. Misalnya di dalam penetapan ketua-ketua sejumlah lembaga di lingkungan pemerintahan desa.

Pada umumnya orang-orang yang mengisi posisiposisi penting di dalam kelembagaan desa (misalnya BPD) adalah tokoh-tokoh masyarakat/adat/suku sehingga membentuk struktur yang sifatnya oligarkis. Dengan kata lain,tidak akan ada partisipasi secara luas dan terbuka dari masyarakat di mana masyarakat bisa mengajukan pendapat maupun menyalurkan aspirasi secara bebas. Lembaga-lembaga seperti itu umumnya hanya menjadi semacam mesin politik guna mempermudah mobilisasi. Hal ini terbukti ketika ada alokasi dana ketika masyarakat umumnya tidak dilibatkan.

***
Meskipun iklim demokrasi di tingkat desa sampai saat ini umumnya masih minim, desa tetap merupakan entitas pemerintahan yang berada di “garis depan”, dalam artian langsung berhubungan dengan akar rumput (rakyat). Hal ini membuat desa memiliki arti penting sebagai basis penyelenggaraan pelayanan publik dan memfasilitasi pemenuhan hak-hak publik rakyat lokal.

Apalagi secara geografis, lokasi desa umumnya berjarak cukup jauh dari pusat pemerintahan di tingkat atasnya. Sebagai entitas wilayah paling dekat dengan akar rumput, desa seyogianya bisa memegang peranan sentral di dalam menggerakkan pemberdayaan masyarakat. Hal ini karena lebih dari 50% penduduk Indonesia tinggal dan bekerja di perdesaan. Namun pada kenyataannya hal itu tidak demikian karena sampai saat ini masyarakat perdesaan hanya menguasai akses ekonomi tidak lebih dari 10%.

Pemberlakuan UU No 32 Tahun 2004 yang lebih menekankan tingkat provinsi, kabupaten/kota dan kecamatan terkesan mengesampingkan posisi desa sebagai unit terkecil dalam struktur pemerintahan negara. Hal ini membuat jaringan pemerintahan di Indonesia pada umumnya hanya efektif sampai ke tingkat kecamatan (tidak sampai ke tingkat desa). Itu pun hanya berlaku bagi kecamatan yang berlokasi relatif dekat dari pusat pemerintahan di atasnya (kabupaten/kota/provinsi) ataupun memiliki akses transportasi dan telekomunikasi yang baik.

Sementara bagi kecamatan yang berjarak jauh dari pusat pemerintahan (daerah terpencil), baik di Jawa maupun luar Jawa,kualitas jaringan pemerintahannya sangat merisaukan. Akibatnya, umumnya masyarakat perdesaan di Indonesia kurang mendapatkan pelayanan publik di dalam berbagai hal,baik pelayanan pendidikan,kesehatan,perizinan di dalam memulai usaha maupun akses ke sumber perkreditan.

Masyarakat perdesaan di Indonesia, khususnya yang berlokasi di daerahdaerah terpencil, adalah masyarakat yang hidupnya terisolasi. Akibatnya, mereka dituntut oleh keadaan untuk selalu berupaya keras agar bisa berswasembada pangan. Sebab, jika tidak, mereka akan terancam kelaparan. Oleh karena itu masyarakat desa dengan karakteristik seperti ini pada umumnya masih hidup dari sektor pertanian, khususnya pertanian tanaman pangan, terutama sebagai petani subsisten.

Tidak banyak di antara mereka yang menjadi pengolah komoditas pertanian. Akibatnya, di luar pangan tidak banyak nilai tambah yang bisa mereka hasilkan. Perlu ada upaya untuk mengantarkan masyarakat antropologis dari pola hidup yang belum komersial ke pola hidup komersial. Mereka seyogianya diarahkan agar (setahap demi setahap) bisa beralih dari kegiatan pertanian tanaman pangan (yang bersifat subsisten) ke kegiatan nonpertanian atau kegiatan pertanian yang lebih komersial (seperti tanaman perkebunan) sehingga lebih menghasilkan nilai tambah.

Terkait dengan masih minimnya iklim demokrasi di tingkat desa, terutama yang masyarakatnya masih bersifat antropologis, mau tidak mau (suka tidak suka) upaya yang dilakukan pun masih perlu melalui pendekatan antropologis. Misalnya di dalam hal mengenalkan bibit-bibit baru, tokoh- tokoh dulu yang harus diyakinkan lewat keberadaan demontration plot atau demplot tentang kemanfaatan bibit-bibit baru tersebut.

Di dalam masyarakat antropologis sangat diperlukan adanya contoh-contoh nyata dari upaya-upaya dan hasil-hasil yang diperoleh. Maklum, masyarakat tradisional umumnya bersifat konservatif.(*)

Penulis adalah Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI)

No comments:

Post a Comment