Wednesday, January 28, 2009

Peran Regulator dan Efektivitas Stimulus

Oleh: Bambang Soesatyo
Sumber: Koran Tempo, 28 Januari 2009

Ambivalensi publik menyikapi stimulus fiskal dan moneter langsung terdengar. Disyukuri, karena setidaknya ada semangat dan upaya menangkal dampak krisis hingga seminim mungkin. Namun, ada juga sinisme karena ragu terhadap efektivitas dua stimulus itu. Pertanyaan utamanya adalah mampukah dua stimulus itu memberikan manfaat langsung kepada kebutuhan pokok sehari-hari rakyat di seluruh pelosok Tanah Air. Bagi orang kebanyakan, cara menilainya gampang saja. Logikanya, dan juga telah diasumsikan, turunnya harga bahan bakar minyak (BBM) otomatis menurunkan tarif transportasi dan harga barang. Output ini sebangun dengan logika harga BBM naik, tarif transportasi dan harga barang otomatis naik.

Nyatanya, logika itu tidak otomatis berlaku dalam perekonomian kita. Sebagai pembenaran—tepatnya alasan—publik malah disuguhi aneka perhitungan biayabiaya yang njelimet. Ada perhitungan harga komponen kendaraan, harga pelumas, biaya transportasi perdagangan, sampai soal susahnya para kondektur menyediakan uang receh untuk dikembalikan kepada penumpang. Kendati Bank Indonesia (BI) telah menurunkan BI Rate, perbankan mengaku sulit menurunkan suku bunga kredit. Alasannya, risiko bisnis sekarang ini sangat tinggi.

Kenyataan ini membuktikan amburadulnya mekanisme perekonomian kita. Sistem dan logika ekonomi universal tak bisa diadaptasi perekonomian Indonesia. Perilaku pemerintah sendiri, sebenarnya, juga menunjukkan ketidakberesan mekanisme perekonomian kita. Kita semua masih ingat betapa berat hati pemerintah menurunkan harga BBM, kendati harga minyak mentah di pasar global sudah anjlok di bawah level US$ 60. Padahal, publik sudah membanding-bandingkannya dengan posisi harga US$ 160-an per barel, saat harga BBM bersubsidi dinaikkan rata-rata 28 persen. Pemerintah pun melansir aneka alasan, termasuk perhitungan biaya produksi minyak mentah Indonesia hingga potensi membengkaknya subsidi yang akan mengganggu keseimbangan anggaran pendapatan dan belanja negara. Maka, dalam konteks ini, perilaku pemerintah dan dunia kurang-lebih sama. Karena pemerintah sempat bersikap kurang fair, dunia usaha juga merasa punya alasan untuk bersikap serupa. Rakyat, lagi-lagi, harus menanggung akibatnya.

Kita jadikan saja ketidakberesan yang mengemuka sekarang ini momentum melakukan pembenahan bertahap. Jelas-jelas di depan kita tersaji fakta tentang inefisiensi akut dalam perekonomian nasional. Struktur pembentukan harga, tarif jasa, dan bunga bank telanjur mengalami penyimpangan. Rakyat harus membayar jauh lebih mahal atas barang dan jasa demi alasan yang sulit diterima akal sehat. Akibat lainnya, sebagai negara, kita tidak kompetitif di pasar global.

Sudah terbukti bahwa kebijakan stimulus ekonomi dari pemerintah tidak cukup untuk merespons persoalan. Masih diperlukan tindak lanjut nyata dari regulator. Maka, pembenahan pembentukan struktur harga dan tarif harus diawali dengan kemauan politik pemerintah plus BI memaksimalkan fungsi dan peran sebagai regulator. Kalau regulator tidak tegas dan “kompromistis”, kita akan selalu digelayuti persoalan karena mengabadikan penyimpangan ini.

Para operator angkutan publik sempat keberatan menurunkan tarif transportasi. Sebab, faktor BBM hanya mencakup 8-12 persen dari total biaya operasional. Beban paling berat ada pada komponen kendaraan yang harus diimpor. Dengan tingginya nilai tukar dolar sekarang ini, harga komponen pasti lebih mahal. Persoalan ini harus dicari jalan keluarnya. Di dalamnya ada soal yang berkait dengan komponen sebagai produk industri, dan sebagai komoditas dagang yang dikenai bea masuk BM. Maka, rumusan jalan keluarnya harus melibatkan pertimbangan dan kewenangan Departemen Perdagangan, Perindustrian, Keuangan, dan Perhubungan. Data yang terkumpul pasti lebih komprehensif untuk menjadi dasar penetapan tarif transportasi. Kalau benar bahwa faktor komponen menyulitkan operator angkutan menurunkan tarif, perlu dipertimbangkan kebijakan BM komponen ditanggung pemerintah (DTP) untuk kelompok kendaraan angkutan umum.

Caranya, manfaatkan sebagian dari pos insentif pajak Rp 12,5 triliun yang dianggarkan untuk 2009. Penyerapannya lebih pasti dan sangat berdaya guna, karena langsung dirasakan rakyat dalam bentuk tarif transportasi yang murah. Untuk menghindari penyimpangan, pemerintah bersama Organda menghitung kebutuhan komponen serta mekanisme impor dan pemanfaatannya. Untuk menurunkan harga barang, pemerintah sebagai regulator mau tak mau harus menyentuh dan mengatur langsung masalah transportasi perdagangan.

Idealnya, biaya distribusi dan transportasi perdagangan hanya berkisar 6-12 persen dari harga di pasar. Kalangan pengusaha mengklaim, biaya transportasi perdagangan di Indonesia tercatat paling mahal atau tertinggi. Di banyak negara, biaya transportasi perdagangan hanya dalam kisaran 8-12 persen. Di Indonesia, biaya transportasi perdagangan mencapai 18-20 persen untuk produk manufaktur, dan rata- rata 38 persen untuk pertanian/perkebunan. Sejak harga BBM tinggi, biaya transportasi perdagangan produk pertanian/ perkebunan bahkan sudah mencakup 40 persen dari harga jualnya di pasar. Maka, itulah alasannya para ibu rumah tangga mengeluh harga tomat di pekan pertama Januari 2009 sangat mahal.

Selain tidak ada standar tarif resmi untuk transportasi perdagangan, perusahaan atau operator angkutan barang suka-suka dalam menentukan tarif. Begitu bensin/solar langka atau dolar menguat, saat itu juga mereka menaikkan tarif. Sepanjang perjalanan menuju pasar, transportasi perdagangan dibebani lagi dengan biaya siluman di pos-pos penimbangan serta pungutan liar oleh preman jalanan. Departemen Perhubungan sebaiknya mulai mempertimbangkan penetapan dan pemberlakuan tarif resmi untuk transportasi perdagangan. Juga menghilangkan biaya siluman di pos timbang. Sedangkan aparat keamanan dan penegak hukum segera menyatakan perang terhadap pelaku pungli di jalan-jalan raya. Jika kita konsisten, secara bertahap kita bisa membenahi struktur pembentukan harga barang dan tarif transportasi.

Bunga bank pun menjadi variabel yang signifikan dalam struktur pembentukan harga barang. Sulit membayangkan harga barang akan turun ke level yang ideal jika suku bunga kredit modal kerja dan investasi saat ini 18-19 persen. Spread-nya terlihat begitu lebar dengan posisi BI Rate yang kini 8,75 persen. Kalau modal kerja diambil dari lembaga pembiayaan nonbank, bunganya sudah di atas 20 persen. Bisa dibayangkan tingginya bunga bank untuk kredit konsumsi. Pada beberapa kategori produk, suku bunganya sudah di atas 30 persen. Orang kebanyakan yang daya belinya masih lemah pasti ngos-ngosan dengan bunga kredit yang tidak normal itu.

Maka, tindakan dari BI tak cukup hanya menurunkan BI Rate. Lagi-lagi, sebagai regulator, BI harus mampu mendorong perbankan menurunkan suku bunga dan mencari jalan keluar untuk mengatasi kekeringan likuiditas. BI bersama pemerintah perlu merumuskan program yang konstruktif untuk menurunkan risiko bisnis. Perbankan mengklaim risiko bisnis di dalam negeri tinggi, sehingga premi risiko kredit juga dinaikkan. Perbankan mestinya tidak memiliki ego sektoral. Sebab, perbankan pun hidup dari berjualan kredit di dalam negeri. Perbankan dan dunia usaha mestinya bekerja sama menurunkan risiko bisnis di dalam negeri. Tanpa kerja sama, penurunan BI Rate tak akan punya nilai tambah. Dengan begitu, efektif atau tidak efektifnya stimulus fiskal dan moneter memang sangat ditentukan oleh aksi berkelanjutan regulator, yakni pemerintah dan bank sentral.

Penulis adalah Ketua Komite Tetap Perdagangan Kadin Indonesia

No comments:

Post a Comment