Thursday, January 29, 2009

Gizi dan Pembangunan Bangsa

Oleh: Posman Sibuea
Sumber: Kompas, 29 Januari 2009

Hari Gizi Nasional jatuh pada 25 Januari. Tema tahun ini, ”Gizi Mutahir untuk Pertumbuhan dan Kecerdasan Anak”.

Bagi kita, tema ini membicarakan kualitas gizi masyarakat merupakan salah satu pendorong pembangunan bangsa. Peningkatan kualitas sumber daya manusia ditentukan oleh mutu pangan yang dikonsumsi, selain pendidikan bermutu dan pelayanan kesehatan yang baik.

Krisis ekonomi, disusul krisis keuangan global, bermuara pada pertambahan jumlah warga miskin di Indonesia. Pemutusan hubungan kerja dan anjloknya daya beli adalah tsunami yang menghantam pilar kualitas gizi masyarakat. Kini anak balita yang mengalami gizi kurang dan gizi buruk mencapai 4,1 juta jiwa.

Terpuruk

Minimnya lapangan kerja membuat masyarakat tak sanggup membeli makanan bergizi. Meski telur dan susu tersedia di pasar, sebagian besar warga tidak mampu mengakses karena terpuruknya daya beli. Peraih Nobel Ekonomi Amartya Sen menyimpulkan, kelaparan terjadi bukan karena tak ada makanan di pasar, tetapi warga terlalu miskin, tidak mampu membelinya.

Peningkatan jumlah balita gizi buruk yang meninggal dunia setiap tahun adalah buah kemiskinan. Mereka menjadi bagian data statistik korban kelaparan yang setiap menjelang pemilu menjadi amunisi kampanye.

Para caleg kini berlomba menebar senyum dan keramahtamahan terhadap kaum miskin yang selama ini termarjinalisasi. Foto-foto mereka dirangkai dengan kata-kata pemanis, seperti ”Rakyat Tidak Boleh Lapar”, tersebar di pinggir jalan. Saking banyaknya gambar caleg yang tertempel di pohon, konon para monyet protes karena habitat mereka terancam.

Yang lebih aneh adalah iklan politik salah satu partai. Penurunan harga premium ke Rp 4.500 diklaim sebagai prestasi pemerintah. Iklan ini terkesan membodohi rakyat. Penurunan harga premium merupakan konsekuensi turunnya harga minyak dunia, bukan karena kinerja pemerintah yang spektakuler.

Indikator prestasi pemerintah patut diukur seberapa besar pengaruh turunnya harga premium terhadap penurunan harga bahan pokok dan tarif angkutan kota. Fakta menunjukkan penurunan harga premium tak otomatis menurunkan harga bahan pokok.

Masih mahalnya harga pangan saat ini berkontribusi untuk percepatan pertambahan jumlah orang kelaparan, gizi buruk, dan busung lapar. Namun, pemerintah terkesan menutup-nutupi tragedi kemanusiaan ini saat melansir data produksi pangan yang meningkat setiap tahun.

Sumber pangan karbohidrat strategis mulai dari padi, jagung, ubi, dan singkong dilaporkan mengalami peningkatan produksi setiap tahun. Juga pangan sumber protein hewani, dari daging sapi, daging ayam, telur, dan ikan mengalami peningkatan.

Berdasarkan data Neraca Bahan Makanan Indonesia (2006), ketersediaan energi per kapita mencapai 2.912 kkal dan 77 gram protein per kapita per hari. Meski nilai itu melampaui angka yang direkomendasikan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (2004) sebesar 2.200 kkal dan 57 gram protein per kapita per hari, kinerja pangan yang terus membaik itu tidak mencerminkan kondisi di tingkat rumah tangga.

Lantas, siapa menikmati produksi pangan melimpah atau Indonesia yang kembali berswasembada beras 2008 jika sebagian warga harus antre mendapat tiga kilogram raskin? Kelaparan dan gizi buruk masih menjadi kendala utama pembangunan sumber daya manusia. Artinya, ketersediaan energi aktual yang melimpah di tingkat makro tidak mengalir ke rumah tangga yang membutuhkan. Pasalnya, ketersediaan pangan yang meningkat belum diikuti membaiknya daya beli masyarakat.

Diversifikasi konsumsi

Masih besarnya jumlah kasus gizi buruk pada tingkat anak balita dan anak usia sekolah adalah konsekuensi logis belum berputarnya roda energi program diversifikasi konsumsi pangan di tingkat keluarga.

Dari aspek gizi, diversifikasi konsumsi pangan memiliki mutu lebih baik daripada mutu masing-masing pangan. Ini dapat terjadi karena kekurangan zat gizi dalam pangan ditutupi kelebihan zat gizi yang terkandung dalam pangan lainnya.

Kegagalan gerakan diversifikasi konsumsi—dikumandangkan dalam Inpres Nomor 14 Tahun 1974 tentang Perbaikan Menu Makanan Rakyat—menunjukkan, bangsa kita pintar berwacana dan menebar janji. Seperti janji-janji kampanye, inpres diversifikasi pangan hanya janji manis. Padahal, rakyat butuh bukti.

Guna membumikan tema ”Gizi Mutahir untuk Pertumbuhan dan Kecerdasan Anak”, gerakan revitalisasi diversifikasi konsumsi pangan wajib hukumnya, sebab Pola Pangan Harapan Nasional belum berimbang antara konsumsi karbohidrat asal padi-padian dan pangan berbasis hewani dan ikani.

Pembangunan bangsa lewat perwujudan ketahanan gizi keluarga sepatutnya dicari solusi melalui pemberdayaan sumber pangan berbasis lokal, inovatif, dan terjangkau daya beli. Ini sekaligus memperkuat identitas kita sebagai bangsa merdeka di mata dunia yang kian kompetitif.

Penulis adalah Direktur Center for National Food Security Research (Tenfoser)

No comments:

Post a Comment