Wednesday, April 1, 2009

Weak Bureaucracy Sulit Jangkau G-20

Oleh: Ahmad Erani Yustika
Sumber: Jawa Pos, 1 April 2009

MINGGU ini, tepatnya 2 April 2009, pemimpin negara yang tergabung dalam forum G-20 kembali mengadakan pertemuan, yang tentu saja fokusnya membahas krisis ekonomi.

Secara khusus, Presiden AS Barack Obama jauh-jauh hari telah menghubungi Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono untuk menyukseskan acara tersebut. Seperti agenda yang dibawa dalam forum pendahuluan G-20 yang dilakukan sekitar 3 minggu lalu, Indonesia menginginkan pembentukan lembaga pendanaan baru untuk menopang kebutuhan dana bagi negara-negara berkembang.

Namun, gagasan itu baru dilakukan bila lembaga multilateral, misalnya Bank Dunia dan IMF, sudah tidak mampu lagi menolong pendanaan bagi negara berkembang.

Lepas dari isu itu, sebetulnya banyak sekali agenda yang perlu dibahas dalam pertemuan puncak G-20 tersebut, khususnya menyangkut model kerja sama penyelesaian krisis ekonomi yang komprehensif.

Stimulus dan Stagflasi

Tiga isu besar yang mestinya menjadi kesepakatan bersama negara-negara yang tergabung dalam G-20 dapat dideskripsikan sebagai berikut. Pertama, negara G-20 saat ini sekurangnya mengontrol 80% kegiatan ekonomi dunia. Artinya, jika kebijakan yang diproduksi negara-negara anggota itu bisa terpadu, prospek keberhasilan pemulihan ekonomi menjadi lebih cerah. Isu kebijakan yang harus ditekankan adalah soal pembukaan akses pasar dan harmonisasi kebijakan fiskal/moneter.

Saat ini hampir semua negara, termasuk negara maju, lebih protektif terhadap pasar domestiknya sehingga penetrasi perdagangan internasional menjadi lemah.

Implikasinya, pergerakan kegiatan ekonomi sulit tumbuh sehingga bisa mengganggu pemulihan ekonomi global. Sementara itu, kebijakan fiskal sudah berada di jalur yang benar, yakni ekspansi pengeluaran negara diperbesar. Namun, dalam hal kebijakan moneter belum berlaku kebijakan yang seragam.

Kedua, stimulus fiskal yang luar biasa besar berpotensi menjadi sumbu ledakan dalam jangka menengah/panjang. Penyebabnya, megastimulus itu dibiayai utang (domestik/asing) yang menimbulkan beban pada masa depan.

Beban itu akan berwujud dalam dua hal: (i) anggaran negara masing-masing negara akan terbebani dengan pembayaran utang sehingga dana bagi kepentingan pembangunan ekonomi/sosial bakal terpangkas akibat ruang fiskal yang sempit; (ii) eskalasi program yang didanai uang yang sedemikian besar tanpa diiringi penambahan barang/jasa dalam jumlah yang proporsional pasti berdampak inflatoir.

Jika problem inflasi berbarengan dengan pertumbuhan ekonomi yang tidak kunjung pulih, ini berpotensi terjadi stagflasi (stagnasi plus inflasi). Penyakit tersebut bakal sulit disembuhkan lagi jika tidak ditangani secara hati-hati. Karena itu, besaran stimulus ekonomi mesti dirasionalisasi secara cermat.

Ketiga, problem yang lebih fundamental saat ini sebetulnya bukan sekadar mengumpulkan dana global dan setelah itu dibagi-bagikan ke negara yang membutuhkan. Hampir semua ekonom percaya, seberapa pun sulitnya krisis sekarang pada saatnya konjungtur ekonomi kembali akan bergerak.

Masalahnya, pemulihan ekonomi itu bakal berlangsung lama bila pilar-pilar terpenting penyebab krisis ekonomi tidak dipagari secara ketat. Dalam hal ini, forum G-20 harus mengambil prakarsa yang lebih berani untuk memagari sektor keuangan dengan regulasi yang ketat sehingga tidak memiliki ruang gerak menjadi komoditas yang diperdagangkan sendiri.

Sektor keuangan harus dikembalikan ke khitahnya sebagai instrumen transaksi dan bukan sebagai komoditas transaksi. Lebih dari itu, sektor keuangan hadir untuk melayani pergerakan kegiatan ekonomi di sektor riil yang memberi nilai tambah atas setiap produksi barang/jasa.

Patologi Birokrasi

Indonesia perlu memanfaatkan forum G-20 tersebut sebagai panggung yang tepat untuk menyuarakan kepentingan negara berkembang. Kepentingan negara berkembang sendiri adalah mengurangi ketergantungan dan intervensi negara maju. Ketergantungan terjadi sebagian karena kelemahan negara berkembang sendiri dalam mendesain kebijakan ekonomi yang rasional.

Namun, dalam banyak hal, ketergantungan berlangsung akibat dominasi kebijakan ekonomi yang disodorkan negara-negara maju. Dalam soal ini, kesepakatan yang diratifikasi dalam perjanjian-perjanjian di bawah payung WTO (Wolrd Trade Organization) sarat dengan manipulasi yang menggilas perekonomian negara berkembang.

Sementara itu, intervensi negara maju dapat dilihat dari pengaruhnya terhadap pembuatan kebijakan di negara berkembang, misalnya dalam privatisasi, penanamam modal asing, dan sumber daya alam. Secara subtil, proses regulasi di bidang itu kerap diwarnai aroma suap dari negara maju.

Di luar itu, masalah besar justru timbul dari birokrasi Indonesia sendiri. Stimulus ekonomi telah dikritik bias kepada sektor ekonomi tertentu dan kaum kaya, sedangkan bagian stimulus kepada kelompok ekonomi lemah tidak memadai. Soal ini mesti segera diselesaikan agar tidak terjadi mala di kemudian hari.

Celakanya, cara kerja birokrasi dalam menghadapi krisis ini masih seperti dalam keadaan normal (business as usual). Bayangkan, sampai awal Maret 2009 penyerapan anggaran masih kurang dari 20%. Bahkan, realisasi belanja modal dan belanja barang baru sekitar 5%.

Jika anggaran yang sudah direncanakan jauh hari saja seperti itu bisa diprediksi bagaimana implementasi dari stimulus ekonomi. Hingga kini belum ada satu pun proyek stimulus ekonomi yang mulai berjalan.

Melihat kenyataan itu, rasanya forum G-20 seperti terlalu jauh bagi Indonesia karena setumpuk persoalan yang menghadang di depan justru bersumber dari kinerja birokrasi yang amat menyedihkan.

Penulis adalah ketua Program Studi Magister Ilmu Ekonomi Universitas Brawijaya, direktur eksekutif Indef di Jakarta

No comments:

Post a Comment