Thursday, April 2, 2009

Penanganan Krisis Mau ke Mana?

Oleh: Iman Sugema
Sumber: Seputar Indonesia, 2 April 2009

Resesi ekonomi akhirnya datang juga seperti yang kami perkirakan tiga bulan lalu. BPS dan Bappenas sejak beberapa minggu lalu mulai rajin memberi konfirmasi tentang datangnya resesi ini.

Beberapa isu penting mengenai hal ini patut diberi catatan. Pemerintah cenderung terlalu lamban dalam menyadari bahwa resesi sudah berada di depan mata. Sebelumnya pemerintah bersikukuh bahwa pertumbuhan ekonomi masih akan berada di atas 5%,perbankan dalam kondisi yang mantap dan stabil, serta fundamental ekonomi masih kokoh.Kenyataannya jauh dari itu. Fundamental ekonomi ternyata sangat keropos yang ditandai dengan merosotnya nilai tukar, harga saham, dan ekspor secara tajam.

Ancaman PHK juga semakin menyeruak dan sampai saat ini secara aktual telah mencapai lebih dari 100.000 orang yang kehilangan pekerjaan. Kelambatan dalam mengantisipasi memburuknya situasi telah mengakibatkan keterlambatan dalam merumuskan dan mengimplementasikan langkah-langkah penanganan krisis. Bahkan BI pernah salah langkah pada bulan Oktober yang lalu, yaitu pada saat menaikkan suku bunga. Padahal yang diperlukan justru adalah pelonggaran likuiditas yang juga berasosiasi dengan penurunan suku bunga.

Otoritas fiskal juga sangat lamban dalam merumuskan program stimulus ekonomi di mana besaran stimulus telah direvisi empat kali. Hal tersebut menimbulkan kesan bahwa pemerintah kurang firm dalam menangani masalah krisis. Antisipasi menjadi penting karena kebijakan fiskal dan moneter memerlukan waktu untuk bisa secara efektif memengaruhi perekonomian. Implikasinya, kebijakan pemerintah harus ditetapkan dan diimplementasikan sebelum masalah betul-betul terjadi.

Dalam bahasa Greenspan, the policy has to be set ahead the curve, atau kebijakan akan lebih efektif kalau ditetapkan mendahului siklus bisnis. Fungsinya adalah mengarahkan perekonomian sesuai dengan yang diinginkan dan terutama untuk menghindari resesi yang dalam. Kalau resesi sudah terjadi, akan semakin sulit untuk melakukan koreksi yang pada gilirannya memerlukan energi yang lebih besar untuk mendorong recovery.

Selain lambat, pemerintah terkesan salah melakukan diagnosis permasalahan. Dari Rp73,3 triliun yang dialokasikan untuk dana stimulus, ternyata hanya sekitar satu triliun saja yang dialokasikan untuk pedesaan. Dana stimulus lebih banyak diperuntukkan bagi wilayah perkotaan, perusahaan besar, dan kalangan yang tidak miskin. Kebijakan ini tentu selain melukai kelompok miskin dan wilayah perdesaan, juga tidak sesuai dengan permasalahan yang dihadapi.

Kenyataannya, wilayah perdesaan merupakan wilayah yang paling parah dilanda krisis.Hargaharga komoditas pertanian sudah lebih dahulu mengalami penurunan yang tajam sehingga pendapatan petani menjadi terpuruk. Selain itu, petani perkebunan pada umumnya menjual hasil produksinya kepada perusahaan besar, baik perusahaan inti ataupun bukan, yang sekarang ini sedang menghadapi penurunan permintaan ekspor. Ketika permintaan ekspor mulai turun, perusahaan akan mengutamakan penjualan dari hasil kebun sendiri dibandingkan menampung dari petani.

Saluran pemasaran bagi petani praktis menjadi tertutup. Karena itu petani adalah pihak yang paling pertama didera krisis. Perdesaan juga akan mengalami limpahan beban akibat PHK yang dilakukan di daerah perkotaan. Korban PHK akan kembali ke desa dan selama kesempatan kerja belum terbuka kembali, mereka akan menjadi beban bagi wilayah perdesaan. Karena itu,wilayah perdesaan akan merupakan wilayah yang paling parah dilanda resesi. Korban PHK yang paling menderita terutama adalah mereka yang tergolong buruh kasar dan buruh harian.

Ketika terjadi PHK, mereka sama sekali tidak punya saving yang bisa menjadi bantalan ketika mereka menganggur. Maklum, pendapatan mereka sebatas upah minimum saja yang hanya cukup untuk menyambung hidup dari hari ke hari. Karena itu, masalah sosial akan lebih banyak timbul di kalangan mereka.

Melihat hal tersebut,kami bisa menilai bahwa stimulus yang digulirkan pemerintah tampaknya salah sasaran.Karena itu paket stimulus sebaiknya diubah komposisinya, yaitu lebih mengarah ke wilayah perdesaan serta membantu menyediakan lapangan kerja sementara bagi buruh kasar atau buruh harian. Ini bukan masalah keberpihakan, tetapi lebih pada efektivitas paket stimulus. Resep harus sesuai dengan masalah yang dihadapi.

Kalaupun rancangan stimulus itu sudah sesuai dengan masalah yang akan dihadapi, dalam pelaksanaannya akan dihadapkan pada kendala teknis yang tak terhindarkan. Stimulus merupakan program dadakan atau crash program yang membutuhkan kemampuan pelaksanaan yang cepat.

Masalahnya ada di birokrasi kita yang cenderung sangat lelet. Untuk program yang tidak dadakan saja penyerapan anggaran biasanya menumpuk di penghujung tahun, antara Oktober sampai Desember. Tentunya para korban PHK tidak bisa menunggu sampai bulan Oktober. Artinya, kalau mau efektif, paket stimulus yang menyangkut pekerjaan fisik harus didesain untuk bisa dilaksanakan pada bulan-bulan mendatang.

Berarti kita tidak bisa bicara mengenai proyek-proyek besar yang membutuhkan persiapan yang lama. Program dan proyek yang mungkin dilaksanakan hanyalah sebatas perbaikan dan pemeliharaan atas prasarana yang sudah ada. Yang terlebih penting adalah tersedianya lapangan kerja.

Uraian di atas mengindikasikan bahwa penanganan krisis akan menjadi efektif bila paket stimulus disusun sebagai antisipasi dari masalah yang kemungkinan akan terjadi dan bukan reaksi atas apa yang sedang atau telah terjadi. Selain itu, efektivitas juga sangat tergantung pada apakah kita mampu mendiagnosis masalahnya secara benar.(*)

Penulis adalah peneliti InterCAFE, Institut Pertanian Bogor

No comments:

Post a Comment