Monday, April 6, 2009

Kontroversi BLT

Oleh: Pande Radja Silalahi
Sumber: Jurnal Nasional, 6 April 2009

Belum lama kita menyaksikan di layar televisi kegiatan pemberian Bantuan Langsung Tunai yang dilakukan pemerintah Thailand kepada jutaan penduduknya. Dana tunai yang diberikan dalam bentuk cek adalah sekitar US$ 55 atau sekitar Rp.600.000. Ditengah terjadinya kemelut politik di Negara Gajah Putih tersebut masyarakat tampaknya memahami betapa pentingnya menggerakkan ekonomi yang tengah dilanda krisis melalui pemberian stimulus yang sekaligus menolong penduduk miskin.

Sebagai akibat keputusan pemerintah menaikkan harga BBM pada tahun 2005 yang lalu, diperkirakan jumlah penduduk miskin bertambah banyak sehingga untuk mengatasinya pemerintah menerapkan kebijakan pemberian BLT (Bantuan Langsung Tunai) kepada penduduk yang dianggap miskin. Sayangnya siapa orang miskin, dimana mereka berada, pekerjaan apa yang dapat mereka lakukan tidak diketahui secara akurat oleh aparat pemerintah. Tidak tersedianya data akurat yang menjadi landasan pemberian BLT mengundang kritikan dari berbagai kalangan masyarakat. Kritikan pedas yang dikemukakan adalah kebijakan pemberian BLT adalah kebijakan yang tidak mendidik dan bahkan membodohkan masyarakat. Sejauh mana kritikan pedas tersebut mendapat tempat berpijak yang kokoh tampaknya perlu dikaji secara tenang dan tidak emosional.

Untuk dapat mengkajinya secara proporsional tampaknya perlu dikemukakan bahwa pemberian BLT adalah keputusan Indonesia, bukan keputusan pemerintah saja, bukan keputusan salah satu Partai Politik misalnya Partai Demokrat. Pemberian BLT adalah amanat Undang-undang yaitu Undang-undang APBN. Teknis pemberian BLT mungkin saja menyimpang dari harapan atau ketentuan yang seharusnya dan kalau demikian masalahnya maka usaha untuk menyempurnakannya harus dilakukan secara sungguh-sungguh.

Pemberian Bantuan

Di negara yang yang selama ini dianggap kapitalis dan masyarakatnya bersikap individualistis yaitu Amerika Serikat pemberian bantuan kepada sekelompok masyarakat yang dianggap miskin atau yang pendapatannya dibawah jumlah tertentu sudah menjadi kebiasaan atau merupakan suatu sistem. Dengan menunjukkan pendapatan anda dibawah standar minimum yang ditetapkan maka anda akan memperoleh bantuan, misalnya, dapat berupa kupon untuk memperoleh susu atau kebutuhan lainnya.

Masyarakat Amerika dan juga masyarakat Negara maju lainnya seperti Eropah memahami bahwa dengan pemberian bantuan secara otomatis ini bagi orang miskin dapat menyebabkan sebagian penduduk menjadi malas bekerja dan tidak berusaha keras meningkatkan taraf hidupnya. Walaupun akibat negatif mungkin saja ada tetapi masyarakat di negara tersebut yakin bahwa akibat positif masih jauh meninggalkan akibat negatif sehingga bantuan terus dilaksanakan sampai saat ini.

Berbeda dengan masyarakat di negara yang dianggap sangat individualistis, di Indonesia pemberian bantuan kepada orang miskin (Bantuan Langsung Tunai) yang jumlahnya jauh lebih kecil dari bantuan yang diberikan kepada yang tidak tergolong miskin justru dikritik tanpa didukung oleh bukti nyata. Dalam tahun anggaran 2009 ini Indonesia (melalui UU APBN) melaksanakan stimulus ekonomi yang jumlahnya diperkirakan sekitar 1,4% dari PDB. Sebagian stimulus ini dapat diartikan sebagai bantuan kepada mereka yang berpendapatan dengan jumlah tertentu. Ketentuan yang diberlakukan adalah dengan menaikkan Batas Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP). Kehilangan pendapatan pajak negara sebagai akibat kenaikan PTKP ini diperkirakan sekitar sepuluh kali lebih besar dari yang diberikan dalam bentuk BLT kepada orang miskin yang jumlahnya sekitar Rp. 3,7 Triliun. Dengan keadaan seperti ini apakah tidak perlu dipertanyakan, "Ada apa sih yang ada di benak sebagian elite masyarakat Indonesia dewasa ini? Membantu penduduk miskin yang belum mampu memenuhi kebutuhan fiisik minimum dengan bantuan tunai di kecam, sementara pemberian bantuan tunai kepada masayarat "near poor" dalam jumlah yang berlipatganda distetujui atau paling sedikit didiamkan. Apakah Indonesia sekarang ini tidak memerlukan kesetiakawanan sosial lagi, atau apakah sebagian dari para elit masyarakat Indonesia dewasa ini asal bunyi dengan harapan mendapatkan simpatik semu dari masyarakat?

Perbaiki Data

Berlanjutnya resistensi pemberian BLT kepada orang miskin terutama adalah tidak tersedianya data akurat. Sangat sulit diterima akal sehat bahwa untuk menentukan seseorang (keluarga) dianggap miskin harus memenuhi 14 (empat belas) kriteria yang sangat merepotkan. Kerumitan kriteria yang diterapkan dalam prosesnya selain merepotkan telah menimbulkan interpretasi yang beraneka ragam sehingga tidak jarang berakibat hilangnya "trust" kepada mereka yang terkait dalam pelaksanaannya.

Belajar dari pengalaman negara-negara di dunia, pemberian bantuan kepada golongan masyarakat miskin akan terus berlangsung di Indonesia, dan pemberian bantuan tersebut adalah suatu cara untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kemampuan masyarakat Indonesia sendiri. Kalau hal ini dapat diterima maka usaha serius menyediakan data yang lebih akurat pada watu yang tepat dan yang perilakunya dinamis adalah tugas yang perlu mendapat prioritas.

Berdasarkan pengalaman di masa lalu dan tuntutan di masa depan maka kriteria penduduk miskin perlu disederhanakan misalnya menetapkan 10% penduduk Indonesia dengan pendapatan terendah. Besaran ini dapat bersifat dinamis misalnya menjadi 15 atau bahkan 5 persen. Dengan penerapan kriteria yang lebih sederhana banyak manfaat yang dapat diraih. Dan yang paling penting masalah ini tidak mudah dijadikan "komoditi politik" sehingga dalam perputarannya tidak merusak kesetiakawanan sosial yang selama ini diakui manfaat dan keampuhannya.

Penulis adalah Ekonom Senior CSIS

No comments:

Post a Comment