Friday, April 3, 2009

Menuju Mata Uang Global

Oleh: M. Fadhil Hasan
Sumber: Koran Jakarta, 3 April 2009

Runtuhnya Perjanjian Bretton Woods menjadi titik awal penggunaan mata uang tunggal dunia-- dollar AS– sebagai penentu nilai mata uang asing dalam transaksi internasional. Dalam mekanisme ini, sebagian besar pembayaran transaksi internasional harus melalui konversi ke mata uang dollar AS. Sejak awal, banyak kalangan yang menilai keputusan tersebut sangat tidak adil karena hal ini secara langsung akan memengaruhi perekonomian negara asing (yang mata uangnya selain dollar AS).

Kini, penggunaan mata uang dollar AS sebagai alat transaksi dunia semakin dipertanyakan. Hal itu bermula dari krisis keuangan yang melanda AS. Sejumlah negara maupun lembaga internasional menilai AS lamban mengatasi subprime mortgage sehingga dampak semakin terasa bagi negara lain. Hal ini turut memengaruhi kepercayaan masyarakat untuk memegang dollar AS. Pengaruh krisis keuangan global bagi negara-negara lain tidak akan separah saat ini jika keterfokusan penggunaan dollar tidak terjadi sejak awal. Negara-negara mulai sadar akan kebergantungan mereka pada dollar yang justru terkadang memperburuk perekonomian negaranya.

Ancaman kelangkaan dollar di suatu negara secara nyata mampu memperburuk kondisi internal melalui kegagalan transaksi internasional seperti ekspor impor maupun transaksi keuangan lainnya. Selain itu, defisit dollar menjadi salah satu pemicu rentannya perekonomian negara lain terhadap gejolak nilai tukar serta risiko-risiko yang ditimbulkannya seperti inflasi (imported inflation). Bukan hanya itu, penggunaan mata uang dollar sarat dengan unsur spekulasi sehingga merugikan negara lainnya. Spekulan mampu mengolah penurunan dan kenaikan nilai mata uang suatu negara dan meraup keuntungan dari kondisi tersebut. Gambaran ini teridentifikasi dari besarnya pengaruh hedge funds yang memegang dana besar denominasi dollar dan mengejar pergerakan bunga tinggi. Kondisi inilah yang sering kali memperkeruh dan menghancurkan pasar keuangan maupun pasar modal internasional.

Memahami berbagai kelemahan penggunaan mata uang tunggal berujung pada mendesaknya pembentukan mata uang global. Meski demikian, skenario pembentukannya dihadapkan pada berbagai kendala. Pertama, kebutuhan penciptaan mata uang global memerlukan suatu sistem moneter yang baru dan kokoh. Padahal pembentukan tatanan sistem moneter yang kokoh serasa sulit saat kondisi perekonomian dunia tidak stabil. Sistem moneter ini yang akan bertanggung jawab untuk mengedarkan dan mengendalikan peredaran mata uang global. Kedua, dominasi cadangan devisa pada sejumlah negara (70 persen) masih menggunakan dollar AS. Jika realisasi penggunaan mata uang global diwujudkan, setiap negara harus mulai mengurangi secara bertahap porsi dollar dalam struktur cadangan devisanya. Hal ini biasanya akan mengancam nilai mata uang domestik serta lonjakan inflasi dari sisi luar negeri (imported inflation).

Keputusan penggunaan mata uang global bukan pekerjaan mudah karena pengalaman Eropa untuk merealisasi penggunaan euro memerlukan waktu sekitar 30 tahun. Kondisi ini menjadi hambatan bagi terwujudnya penggunaan mata uang global karena perbedaan struktur perekonomian dari negara-negara di dunia. Penolakan dimungkinkan muncul dari negara-negara yang struktur perekonomiannya lebih terbelakang.

Mengurangi Ketergantungan

Kekuatan dan daya tarik perekonomian AS semakin pudar setelah kegagalannya menangani subprime mortgage. Kekacauan perekonomian AS semakin dalam dan sukar ditangani karena tingginya proporsi mata uangnya yang berada di luar negaranya. Hampir 75 persen dollar tersebar di luar AS, sisanya 25 persen yang berada di AS. Sebenarnya proporsi dollar yang berada di luar AS telah berkurang seiring dengan penggunaan mata uang euro pada kawasan Eropa. Besarnya proporsi dollar yang berada di luar AS berujung pada kekeringan likuiditas sehingga pemulihan krisis finansial terkesan lamban.

Perjanjian Bilateral Currency Swap Agreement (BCSA) merupakan salah satu strategi pengurangan kebergantungan pada transaksi dollar. Kebijakan itu ditempuh mengingat nilai supply dollar AS semakin tidak terkendali. Dalam BCSA ini, suatu perekonomian membentuk cadangan bersama dengan denominasi mata uang kedua negara untuk memenuhi kemudahan transaksi internasional. Pada kesepakatan ini, dollar bukan lagi menjadi media transaksi antar kedua negara sehingga kelangkaan dollar dapat berkurang. Secara teori, kebijakan tersebut memberikan dampak positif bagi negara net importer sebab tidak perlu memburu dollar untuk melakukan transaksi internasionalnya karena langsung dapat menggunakan mata uang negara mitra dagang.

Skenario ini dapat menekan biaya yang ditanggung oleh importir maupun eksportir karena jalur penukaran mata uang dapat diperpendek. Untuk China dan Indonesia, misalnya, eksportir dan importir hanya menukar sekali mata uang untuk transaksinya dari renminbi ke rupiah atau sebaliknya, sedangkan sebelumnya diperlukan dua kali pertukaran, yakni dari rupiah ke dollar AS dan ke renminbi. Selain lebih sederhana, hal tersebut dapat menghemat fee pertukaran yang harus dibebankan kepada eksportir maupun importir. Dengan skema BCSA, setidaknya tekanan terhadap rupiah akan dapat diminilisasi, bahkan akan berdampak positif terhadap volatilitasnya. Bukan hanya itu, kestabilan rupiah akan berdampak positif bagi dunia usaha serta penanganan imported inflation.

Hingga kini, Indonesia telah melakukan BCSA dengan tiga mitra dagangnya, yaitu China, Jepang, dan Korea Selatan. Indonesia setidaknya telah menandatangi BCSA senilai 15 miliar dollar AS (setara 175 miliar rupiah atau 100 renminbi miliar) dengan China, sementara dengan Jepang dan Korea Selatan masing-masing senilai 12 miliar dollar AS dan 2 miliar dollar AS. Rencananya perjanjian ini diperluas dan mencakup ASEAN + 3 (Indonesia, Thailand, Malaysia, Filipina, Singapura, Vietnam, Myanmar, Kamboja, Laos, dan Brunei) ditambah Jepang, China, dan Korea Selatan. Selain memberikan kemudahan bagi eksportir maupun importir, dalam jangka pendek BCSA dapat diperuntukkan sebagai cadangan devisa jika terjadi permasalahan dalam neraca pembayaran.

Pembentukan mata uang global memang tepat dan perlu dilakukan, tetapi memerlukan perencanaan dan waktu yang relatif lama. Dalam proses pembentukannya, skenario Bilateral Currency Swap Agreement (BCSA) dapat menjadi pilihan alternatif. Untuk itu, pemerintah (BI) harus segera memperluas cakupan BCSA ke negara lain, khususnya mitra dagang RI, sehingga kebergantungan dollar berkurang serta sebagai upaya menjaga kestabilan rupiah.

Penulis adalah Ekonom Senior INDEF

No comments:

Post a Comment