Monday, April 6, 2009

Pemilu dan Janji Perubahan

Oleh: Faisal Basri
Sumber: Kompas, 6 April 2009

Perubahan adalah kata yang paling banyak diusung selama masa kampanye Pemilihan Umum 2009 ini. Memang, pemilu merupakan sarana untuk melakukan pembaruan kontrak politik, menuju kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik.

Partai yang sedang berkuasa mengklaim keberhasilan yang telah dicapai dan berjanji akan lebih baik lagi kalau kembali berkuasa. Sejumlah partai, terutama partai-partai baru, menawarkan perubahan mendasar, pembalikan haluan ekonomi, dan perombakan strategi pembangunan. Seberapa menjanjikan perubahan itu?

DPR mendatang akan sangat berbeda. Jumlah partai di DPR akan menciut, diperkirakan tak akan lebih dari 10 partai, sebagai konsekuensi penerapan parliamentary threshold 2,5 persen.

Ketentuan peraih suara terbanyak, bukan nomor urut calon anggota legislatif, yang berhak melenggang ke Senayan, membuat sebagian besar anggota DPR yang ada sekarang akan tergusur.

Muka-muka baru yang akan muncul adalah politisi yang sudah teruji paling dekat dengan rakyat. Hubungan mereka dengan pemilihnya lebih langsung, tak lagi tersekat oleh birokrasi partai.

Sebagai anggota DPR, mereka akan senantiasa menjaga hubungan dengan konstituennya. Berdasarkan mazhab rational choice (pilihan rasional), hanya dengan berbuat demikian mereka akan bisa berhasil sebagai politisi dalam menapaki jenjang-jenjang kekuasaan yang lebih tinggi.

Untuk itu, mereka akan memperjuangkan alokasi anggaran lebih besar bagi daerah pemilihannya, dan memastikan pelaksanaannya sesuai dengan tujuan.

Akan lebih lengkap lagi apabila anggota DPR mewujudkan janji-janji kampanye mereka dengan makin produktif menelurkan undang-undang yang bermutu.

Penataan institusi

Pembangunan dan penataan institusi adalah tantangan terberat bagi anggota DPR baru. Dengan institusi yang baik, kepastian bagi perbaikan yang terukur akan lebih terhadirkan.

Harapan tersebut akan terwujud apabila anggota DPR mau lebih banyak mendengar, mengundang, lebih sering melakukan public hearing, dan lebih kerap mendengar langsung keluhan konstituennya.

Tak boleh lagi proses pengambilan keputusan dilakukan secara tertutup di hotel-hotel mewah.

Hubungan antara DPR dan pemerintah tampaknya juga akan mengalami perubahan. Dengan jauh lebih sedikit partai di DPR, pengelompokan antara partai-partai pendukung pemerintah dan partai-partai oposisi akan lebih tegas sehingga meningkatkan efektivitas pemerintahan dan fungsi checks and balances.

Pemilu legislatif kali ini sudah memberikan petunjuk sementara ke arah mana pengelompokan yang bakal terjadi. Pengelompokan tampaknya tak berdasarkan orientasi ideologis yang kental, atau bahkan tak berorientasi ideologi sama sekali.

Buktinya, penjajakan koalisi sangat cair dan bisa berubah setiap saat. Bertolak dari kecenderungan ini, bisa diduga bahwa perubahan mendasar masih sangat sulit terjadi.

Partai-partai besar yang ada sekarang masih akan menjadi penentu utama karena merekalah yang paling berpeluang untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden.

Dengan kemungkinan konfigurasi politik pascapemilu seperti itu, kita tak bisa berharap terjadi perubahan radikal. Ruang gerak yang cukup terbuka baru sebatas bagi perbaikan gradual. Masalahnya, bagi Indonesia, lebih baik saja tak cukup.

Harus ditata ulang

Dewasa ini kita sedang berada di tengah krisis ekonomi global. Persoalan-persoalan fundamental mengemuka. Makin disadari bahwa perekonomian dunia yang berlandaskan financially-driven capitalism dewasa ini sangat rapuh, dan oleh karena itu harus ditata ulang.

Ironisnya, perekonomian Indonesia berada di jalur yang sesat itu, dan kian terseret di dalamnya. Lebih mengkhawatirkan lagi, kita tak memiliki jaring-jaring pengaman yang memadai sehingga sangat rentan dalam menghadapi guncangan eksternal.

Modal dasar kita yang sebetulnya cukup memadai untuk menggerakkan perekonomian domestik bisa porak-poranda seketika akibat kerapuhan sektor finansial kita.

Lalai

Kita lalai membangun basis kekuatan domestik. Segala potensi yang kita miliki, termasuk pendanaan, tak didayagunakan. Pemerintahan sekarang belum menunjukkan keberhasilan nyata dalam penerimaan pajak.

Nisbah pajak (tax ratio) tetap saja bertengger di aras 12 persen, dengan kecenderungan yang menurun. Juga kegagalan memoneterisasikan kekayaan alam kita sehingga belum kunjung menjadi berkah bagi pembangunan.

Kelalaian itulah yang membuat kita semakin bergantung pada luar negeri. Akibatnya, utang pemerintah kian menumpuk, itu pun hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek, untuk tahun ini semata.

Pemerintah tak mampu mengalokasikan cukup dana untuk paket stimulus agar perekonomian tak terempas dalam oleh dampak krisis global.

Tantangan berat yang kita hadapi tak bisa hanya dibebankan kepada partai dan politisi. Setelah mencontreng nanti, tugas kita belum selesai. Segala tuntutan dan konsep perubahan harus terus dikumandangkan dan dikawal.

Selama 11 tahun sejak reformasi, masyarakat dan dunia usaha sudah membuktikan bahwa mereka mampu berubah. Sekarang, saatnya kita mengawal perubahan yang lebih hakiki. Memilih wakil-wakil rakyat yang terbaik adalah langkah awalnya.

Penulis adalah Pengamat Ekonomi

No comments:

Post a Comment