Sumber: Jawa Pos, 13 April 2009
Sektor informal berkembang pesat pada saat ekonomi terpuruk. Ini juga terjadi di Indonesia. Usaha informal berkembang pesat sejak krisis ekonomi, hingga sekarang. Sehingga jumlah usaha mikro meningkat dengan pesat, lebih dari satu juta usaha mikro baru muncul tiap tahun.
Jumlahnya pada 2007 mencapai 47,7 juta unit, atau lebih dari 95% jenis usaha yang ada di Indonesia. Pada saat ini jumlahnya diperkirakan sudah mendekati 50 juta unit, dan akan terus meningkat, mengingat krisis ekonomi global juga semakin berat.
Apalagi, proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia yang lebih up to date meramalkan pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah. Ekonomi dunia diramalkan akan kontraksi antara 0,5%-1,5% pada 2009.
Laporan terbaru Bank Dunia meramalkan pertumbuhan ekonomi negara maju Asia Timur 2009 yang pada Desember 2008 lalu akan tumbuh 6,7% diperkirakan turun menjadi 5,3%. Indonesia yang diramalkan tumbuh 3,8% pada 2009, turun menjadi 3,4% pada periode yang sama.
Bank Indonesia (BI) juga menurunkan ramalan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 3%-4% untuk 2009. Jelas itu semua menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia masih akan memburuk hingga 2009. Ini berarti usaha informal akan makin berkembang di Indonesia.
Usaha informal yang berkembang, selain disebabkan oleh semakin banyaknya PHK di dalam negeri mulai kuartal 2, juga disebabkan makin banyaknya TKI ataupun TKW yang dipulangkan dari tempat kerjanya.
Jelas hal itu membuat semakin besarnya pengangguran. Akibatnya, makin banyak orang yang masuk ke usaha informal. Tidak adanya sistem jaminan sosial yang memadai, memaksa orang yang terkena PHK harus bekerja jika ingin makan.
Jadi, tidak seperti welfare state yang memberikan tunjangan bagi penduduknya yang menganggur. Dengan demikian, semakin banyak usaha informal akan meningkatkan kebutuhan dana mereka untuk berbisnis. Sayang, sumber dana yang tersedia bagi usaha mikro terbatas, sehingga bunga yang harus mereka bayar jauh lebih mahal dibanding kalau meminjam pada lembaga formal seperti bank umum.
LKM Panen?
Semakin berkembangnya usaha mikro dan kecil di masyarakat membuat lembaga keuangan mikro (LKM) juga makin berkembang pesat. Ada bermacam-macam LKM, namun menurut BI digolongkan menjadi dua kategori, yaitu: (1) LKM yang berwujud bank, seperti BRI Unit Desa dan BPR; dan (2) LKM yang bersifat nonbank, seperti koperasi simpan pinjam, baitul mal wattanwil (BMT), lembaga swadaya masyarakat, arisan, kelompok swadaya masyarakat. Semuanya melayani kredit mikro yang disalurkan dengan plafon hingga 50 juta rupiah.
Meskipun bisnis yang dilayani LKM meningkat, jumlah BPR tidak banyak berubah. Menurut data BI, ada 8.905 BPR yang memiliki 14.133 kantor pada 2000, menjadi 8.975 BPR dengan jumlah kantor 10.075 pada 2005 (data terbaru BI).
Terbatasnya jumlah BPR diperkirakan membuat bisnis pada kredit mikro tidak bersaing dengan baik, sehingga ada kecenderungan lembaga keuangan mikro, termasuk BPR, dapat mematok suku bunga tinggi untuk kreditnya. Meskipun bunga yang lebih tinggi itu dapat ditelusuri dari rsiko kredit yang lebih tinggi, jaminannya longgar, dana mudah cair, dan jumlahnya kecil.
Berbagai BPR di Indonesia mematok bunga kredit 20-30 persen, sementara bank umum biasanya di sekitar 13%-14%. Memang sangat tinggi. Namun, di luar negeri pun suku bunga untuk kredit mikro pada umumnya juga tinggi, seperti Bank Grameen di Bangladesh yang terkenal mematok bunga 20%. Demikian juga LKM di berbagai negara mematok bunga yang tinggi, di atas 20%.
Meski demikian, ditengarai ada kecenderungan baru di berbagai LKM mulai menerapkan bunga yang sangat tinggi hingga 40%-50%, bahkan bisa lebih besar. Akibatnya, "rentenir" model baru sekarang ini bisa berkedok LKM resmi.
Fenomena ini dapat terjadi karena kebutuhan dana usaha mikro dan kecil yang jumlahnya semakin membengkak tidak diikuti dengan jumlah LKM yang melayani mereka. Akhirnya yang terjadi ialah bunga tinggi.
Meskipun sudah banyak juga bank besar yang merebut pasar kredit mikro, bahkan pionernya, BRI sudah di pasar kredit mikro beberapa dekade, diikuti Bank Danamon, Bank Mandiri, dan Bank CIMB Niaga, toh tetap saja dijumpai bunga tinggi pada pasar kredit mikro.
Genjot LKM
Karena dominasi usaha mikro dalam perekonomian makin meningkat, dan makin meningkat seiring dengan krisis ekonomi yang harus kita hadapi pada saat ini, kekuatan ekonomi usaha mikro semakin dominan.
Selain itu, diperkirakan 75% masyarakat kita mengandalkan hidupnya pada usaha mikro. Karena itu, pendanaan usaha mikro tidak dapat dianggap ringan lagi. Apalagi, diserahkan pada mekanisme pasar. Jangan-jangan hal itu akan mengembangkan "rentenir" gaya baru, resmi, dan dilindungi negara.
Perlu pengaturan lebih baik pada pasar kredit mikro agar aman, efisien, kompetitif, serta dapat melayani lebih banyak usaha mikro, baik yang lama ataupun baru.
Usaha pemerintah dan pemda yang membantu usaha mikro melalui KUR, PNPM ataupun berbagai program seperti itu lainnya sudah diluncurkan, tapi masih jauh dari kebutuhan.
Untuk itu pemda, khususnya yang ekonominya "hanya" didukung UMKM, perlu campur tangan untuk memperkuat pendanaan usaha mikro. Sebagai gambaran, Pemda Jawa Tengah yang memiliki BPR BKK dengan jaringan luas di wilayahnya, dapat menggunakan jaringannya untuk memberikan layanan yang luas kepada usaha mikro.
Penulis adalah dosen Fakultas Ekonomi UGM